Sabtu, 10 Maret 2012
Melepaskan Bukan Akhir Dunia
Kenapa kita menutup mata
ketika kita tidur?
ketika kita menangis?
ketika kita membayangkan?
Ini karena hal terindah di dunia TIDAK TERLIHAT...
Ada hal-hal yang tidak ingin kita lepaskan... Ada orang-orang yang tidak ingin kita tinggalkan Tapi ingatlah...!!!
melepaskan BUKAN akhir dari dunia...
melainkan awal suatu kehidupan baru...
Kebahagiaan ada untuk mereka yang menangis,
Mereka yang tersakiti,
mereka yang telah mencari... dan mereka yang telah mencoba...
Karena MEREKALAH yang bisa menghargai
betapa pentingnya orang yang telah
menyentuh kehidupan mereka...
Kan Ku Ingat Masa Itu
Indahmu menularkan semangat dalam jiwaku
Katamu meramaikan setiap kesunyian yg melanda
sudut hatiku
Tatapanmu bagaikan nur yg menerangi seluruh
otakku
Inikah dirimu, yang maha memiliki hati hampaku Hitam bukanlah aku...
Putih, kelewat indah untuk jiwaku...
Merah jelas aku tak mau...
Inikah engkau yang memberiku Warna...
Menjadikan warna-warnamu sebuah pilihan yang
sulit untuk kutau Kehilangan ini membuatku canggung
Kehilangan ini membuatku menjadi seorang tuna
Dan kehilangan ini pula yang membuatku bertindak
bodoh
Menuruti semua Ego terkutukku...
Menjadikanku semakin dan semakin terperosok dalam lembah kelam
Dan dalam kesendirian ini Aku tengah menyesali
segala kelakuanku
Kelakuan yang membuat aku
kehilangan dirimu Selamanya... Oh Tuhan...
Andai saja Waktu dapat aku putar mundur
Aku hanya akan meng-Cut saat itu
Saat aku akan kehilangannya
Kan aku rubah Skenario hidupku
Tapi waktu adalah waktu Tak mau tau akan Deritaku
Derita yang ku buat sendiri Diatas semua Egoku
Sekarang...
Masa ini...
Aku akan Hidup...
Tak akan kuulang lagi kesalahan itu Kan kuingat masa itu sebagai jalanku
Jalan menuju sebuah cinta tanpa keEgoisan...
Kenapa Cinta Ini
Suara bisa saja menghilang bersama angin
Menerbangkan hingga menenggelamkan dalam
bising
Ia terbuang dalam ruangan yang tak pernah ia tau
Rindu.. melebihi sebuah ambisi yang menderu-deru
sepotong harapan tanpa ia sadari ia ingin lepaskan terlalu sakit untuk di pertahankan
kenapa cinta ini telah salah memilih
Cinta yang tak seharusnya ada dalam dirimu
cinta yang tak seharunya menjadi bagianmu
Kenapa cinta ini harus salah memilih...??
kamu yang selalu menyakiti...
Andai Takdir Tak Berpihak Padaku
Aku sendiri di sini Yang selalu Mengharap hadir mu
Menanti Kasih sayang yang sempurna kian hari ku
mengharapmu
Tuk mendampingi ku yang tak mampu menatap cinta
lain Yang tak
sanggup berdiri seperti dulu Harus kemana lagi aku berjalan Mencari dirimu yang
penuh dengan cinta
Haruskah aku terus berjuang Menelusuri ranjau yang
penuh duri? Aku tak mengharap lebih darimu
Hanya Cintamu yang kuingin
Hanya Kasih sayang mu yang harap
Andai takdir tak berpihak padaku
Berilah aku kesempatan tuk mencarinya
Mencari orang yang bersedia menggantikanmu Walau berat rasa hati ini tuk menggantimu
Dimanakah Perasaanmu
Seakan duri merobek hatiku Hancurkan jiwaku
Musnahkan semua tawa dihatiku
Mengapa kau lakukan ini padaku
Mengapa kau tinggalkanku saat aku membutuhkan
kamu
Andai engkau tau Sakit hati ini saat kau tinggalkan cintaku yang tulus ini
Hanya untuk seorang yang tak pernah mencintaimu
Dimanakah perasaanmu???
Saat kau ucap kata lupakan aku
Sungguh kau bukan manusia bagiku
Kau Ucap Kata Yang Sama... Hatiku tak seperti baja Yang takkan hancur meski
dihantam oleh ribuan batu
Aku bukanlah boneka Yang bisa kau permainkan
sesuka hatimu
Aku bukan Tuhan Yang bisa memberikan semua apa
yang kau minta Kau pergi Dan kau kembali lagi Kau ucap kata sama
Kau minta untuk bersamamu lagi Kau ucap janji
sama
Kau takkan tinggalkan aku Kau ucap 1000 kata maaf
padaku
Itu..yang akan semakin membuatku terluka Bukan ku membencimu Tapi sungguh Kata maaf itu
terlalu indah dibibir manismu
Dan sungguh Sulit untuk ku bisa memaafkanmu...
Memang Seharusnya Begitu
Maafkan aku yang memang redup...
tak pantas mengharap kemuliaan seorang bidadari
sepertimu
Apabila engkau menutup pintu dan tak memberi
seberkas cahaya, tak apa
Memang seharusnya begitu... Dan kiranya aku merangkak dan kau tak melihatku,
tak apa Memang di luar sana benyak pujangga yang sanggup
menuliskan ribuan sajak untukmu
Dan aku hanya memetik bunga violet dari taman
depan
Di luar sana banyak saudagar yang sanggup
mempersem bahkan villa mewah untukmu Dan aku hanya bisa membangun gubuk di desa...
Pun rembulan walau ia tak bertemu mentari ia tetap
memberikan cahayanya
Dan rembulan dengan senang hati memantulkannya
kembali demi bumi agar tidak gelap
Rembulan Yang Tinggal Separuh
Semilir angin kian lembab
Lahirkan titik titik embun diujung dedaunan
Jangkrik bersiul merdu
Sayup suara Ku si burung hantu
Suasana malam yang kian pekat nan senyap
Temaniku dalam pilu Aku tergugu, Gejolak rindu seolah membeku
Rembulan yang tinggal separuh Mengintip dari celah
jendela kamarku
Dia pun terlihat agak sendu Meski tetap tersenyum
merayu
Seolah dia tahu gundahku... Oh rembulan tahukah engkau...
Diujung langit mana dia terbang?
Tak satupun nampak jejak juga bayang
Masihkah rindu ini harus ku genggam
Hingga sampai saat itu menjelang
Aku mencintainya sepenuh hati Amat merinduinya meski telah pergi
Ku hanya ingin bertatap Walau hanya sekejap
Namun itu takkan mungkin terjadi
Tidakkah seharusnya rasa ini telah mati
Dan sirna dari hati ini...
Namun dia tetap bertahta di palung sanubari...
cinta ta di restui
bintang yangku tunjuk cahaya perlahan hancur
berantakan
belum sempat ku utarakan sajak sajak cinta atas
namanya bulanpun meredup cahaya kehilangan kasihnya
langitpun menangis akan kesedihannya
didalam hampa sunyi kehidupanku menanti
jawabmu
menanti jawaban darimu
menantikan kehadiran dirimu membuatku selalu memimpikanmu inikah namanya cinta - aku jatuh cinta padamu walau raga kita terpisah jauh tapi hati kita terasa dekat menebak kebenaran satu sama rasa hati mengharap penantianku tak sia sia menunggu satu pasti jawaban darimu ??tak berpaling apakah sama rasa hati yang kau rasakan!!!!!!!!! bersabar dan menunggu satu jawaban pasti darimu apakah penantianku dapat bertahan ketika waktu berlalu dan berlalu menanti jawaban yang tak pasti darimu maka kuberanikan menulis puisi ini untukmu agar kau memberi jawaban pasti untuku
Rabu, 15 Februari 2012
Cerita Masyarakat Desa Pantai Ulin Kecamatan Simpur Kabupaten Hulu Sungai Selatan; Datu Ulin
Kabupaten Hulu Sungai Selatan berjarak sekitar 145
kilometer dari Banjarmasin dan kota Kandangan sebagai ibukotanya. Di
wilayah ini, tepatnya di kecamatan Simpur, terdapat sebuah desa yang
dinamakan desa Pantai Ulin. Entah kenapa dinamakan dengan nama tersebut,
menurut hemat saya mungkin dulu daerah ini memang awalnya pantai, atau
kata “pantai” diartikan sebagai daerah yang kaya akan sesuatu (daerah
yang kaya akan ulin atau kayu besi) karena ada juga daerah di Hulu
Sungai yang diberi nama pantai, seperti Pantai Hambawang.
Di desa ini berkembang sebuah cerita yang
mengisahkan kesaktian tokoh yang mereka percayai masih hidup di alam
lain yaitu Datu Ulin. Datu Ulin dipercaya sering muncul pada saat
upacara syukuran yang di adakan di desa setiap setelah selesai panen.
Upacara syukuran ini masih diadakan sampai sekarang. Menurut penuturan
Camat Simpur dan beberapa warga, setiap syukuran dilaksanakan,
pesertanya selalu membludak, padahal warga yang diundang hanya berasal
dari desa-desa yang bersebelahan dengan desa Pantai Ulin, yang apabila
dihitung-hitung jumlah tidak sampai sepuluh ribu orang, akan tetapi yang
hadir malah lebih dari itu. Sisa peserta yang sedemikian banyaknya
tersebut dipercaya berasal dari alam gaib, alias mahluk halus.
Menurut cerita, dahulu ada sebuah pohon ulin
(kayu besi) yang tumbuh dengan subur, lebat, dan batangnya sangat besar.
Di pohon inilah kemudian hinggap seekor burung yang sangat besar.
Karena pohon tersebut sangat besar, burung ini pun sangat senang berada
di sana, mudah mencari makan dan dapat mengawasi wilayah yang ada di
sekitarnya. Di sini lah dimulainya sebuah bencana besar. Burung tersebut
mulai memakan manusia yang ada di sekitar desa, lambat tapi pasti.
Selain itu, kepakan sayap si burung menimbulkan angin deras yang dapat
menerbangkan pohon, rumah, dan apa saja yang ada di sekitarnya. Warga
desa menjadi takut dibuatnya. Setelah menjalani sebuah pembicaraan,
mereka setuju untuk bergotong royong menebang pohon ulin karena hanya
itu jalan satu-satunya agar burung ganas dapat diusir.
Waktu yang telah disepakati untuk menebang
pohon tersebut pun tiba. Orang-orang mulai mengeluarkan parang mereka
dan berusaha menebang pohon ulin. Tapi apalah daya, karena sudah terlalu
tua, pohon tadi sangat sulit untuk ditebang, jangan kan untuk memotong,
melukai batangnya pun sangat sulit. Setelah beberapa lama, parang dan
segala alat pemotong pun habis, karena patah dan sudah tidak dapat
digunakan lagi.
Mereka bertambah gusar, semuanya terdiam,
memikirkan cara bagaimana memotong pohon tersebut. Salah seorang warga
tiba-tiba mendengar burung tinjau (murai) yang berbunyi “kuit cau, kuit
cau”. Warga tersebut tiba-tiba mendapat ilham. Ia mengartikan suara
burung tersebut dengan “kuit (congkel) dengan pisau”. Ia pun pulang dan
mengambil pisau kecilnya di rumah. Setelah kembali, para warga desa
menertawakannya, mengapa tidak, jangankan pisau, bahkan parang yang
sangat besar saja tidak dapat berbuat banyak. Ia tidak menghiraukan
ocehan mereka, ia tetap melakukan apa yang dipercayanya untuk dapat
menumbangkan pohon tersebut.
Ternyata apa yang diyakininya itu terbukti!
Dengan sekali congkel di bagian akar dengan menggunakan pisau tadi,
pohon ulin yang besar dapat tumbang. Warga desa terkejut tidak percaya
dengan apa yang mereka saksikan. Mereka menghampiri dan menyanjung.
Warga yang berhasil menumbangkan pohon ulin tersebut kemudian diberi
gelar sebagai Datu Ulin.
Pohon ulin tersebut dipercaya oleh masyarakat
Pantai Ulin tumbang sampai ke Marabahan. “Marabahan tu bakas karabahan
pohon ulin, makanya dingarani urang Marabahan” kata beberapa orang tua
di sana.
Cerita tadi mungkin hanya sebuah dongeng, tapi
masyarakat di desa Pantai Ulin mempercayainya sebagai kenyataan. Salah
satu tokoh pemuka bahkan memiliki bukti berupa beberapa bekas potongan
parang yang patah akibat pohon ulin tersebut dan sebuah pisau yang
merupakan alat yang digunakan untuk mencongkel pohon ulin tadi. Kata
beberapa orang warga, Minggu, 12 Februari 2012
Kisah Kayu Ulin dan Naga Kembar dari Pulau Kaget
Banjarmasin -
Fenomena naga memang binatang khas yang identik dengan keberadaan etnis
Tionghoa, termasuk juga di tanah air. Proses asimilasi kultur yang
berlangsung lama di tanah air ini juga melahirkan cerita naga.
Salah satu legenda naga yang diwariskan turun temurun adalah kisah "Naga Kembar di Pulau Kaget", sebuah pulau yang terletak di sebuah delta di tengah-tengah sungai Barito, termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Tabunganen, Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Pulau Kaget ini terletak dekat muara sungai Barito dan merupakan pulau cagar alam yang ditetapkan berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 788/Kptsum11/1976 dengan luas 85 Ha.
Kondisi alam pulau ini cukup kritis karena adanya penebangan pohon, khususnya pohon rambai padi yang merupakan sumber makanan bagi bekantan (Nasalis Larvatus), sejenis kera hidung panjang yang merupakan maskot fauna provinsi Kalimantan Selatan.
Seperti dilansir dari berangja.blogspot, begitu juga cerita di blog lainnya, pulau kaget ini juga memiliki kisah yang melegenda terkait keberadaan pulau. Diceritakan bahwa pada zaman dahulu kala ada dua orang bersaudara kembar yang bernama Sutakil dan Sutakul.
Keduanya tengah berada di Pulau Kaget untuk menebang empat batang kayu ulin yang tumbuh di pulau angker tersebut. Ketika itu keduanya telah berhasil menebang tiga batang kayu ulin dan tengah menyelesaikan penebangan kayu ulin yang keempat.
Konon dalam ceritanya, kayu ulin yang keempat ini sangat sulit ditebang, batangnya sangat besar dan sangat keras. Sudah satu minggu Sutakil dan Sutakul menebangnya, tapi kayu ulin dimaksud belum juga berhasil ditumbangkan. Sutakil dan Sutakul menjadi penasaran tapi keduanya sudah bertekad pantang menyerah.
Kayu ulin yang mereka tebang ketika itu sesungguhnya bukan kayu ulin biasa, getah yang keluar dari bekas tebangannya berwarna merah dan mengeluarkan bau anyir persis seperti darah.
Dari kisah ini, suatu ketika Sutakil iseng-iseng melemparkan potongan kayu ulin bekas tebangannya itu ke dalam perapian. Muncul keanehan yang cukup mengagetkan, dari sana keluar bau gurih seolah dari daging yang terpanggang.
Sutakil yang merasa penasaran kemudian mengambil potongan kayu ulin yang terbakar itu, kemudian mencicipi atau mencecapkan rasanya di lidah, ternyata potongan kayu ulin dimaksud terasa lezat persis seperti daging panggang pada umumnya. Begitulah, sejak saat itu Sutakil dan Sutakul menjadikan bekas tebangan pohon ulin dimaksud sebagai lauk-pauk teman makan nasi mereka.
Namun akibatnya ulah saudara kembar ini, sungguh fatal, ketika suatu pagi setelah bangun, keduanya tiba-tiba berubah wujud menjadi dua ekor naga. Ternyata bekas tebangan kayu ulin yang mereka makan sebagai daging panggang dimaksud tidak lain adalah potongan tubuh dari seekor naga jelmaan.
Dari sinilah legenda dua pulau kembar dari pulau kaget ini berada. Karena kekagetan dua saudara kembar ini yang konon kemudian menjelma enjadi ular, sehingga pulau ini juga disebut pulau kaget.
Konon, menurut pandangan mata batin sejumlah paranormal di kota Banjarmasin, naga kembar jelmaan dari Sutakil dan Sutakul yang dimaksud hingga sekarang masih menjadi penunggu tetap Pulau Kaget yang angker itu. Pulau Kaget sendiri terletak di tengah-tengah Sungai Barito dan kini dikenal sebagai salah satu obyek wisata andalan daerah Kalimantan selatan.
Sebuah eindahan panorama yang berbalut legenda dan tradisi yang hampir terjadi di setiap daerah di nusantara yang kaya ini. Legenda yang juga menunjukkan bahwa cerita naga ini menjadi bagian dari kedekatan orang Tionghoa dengan masyarakat Banjar yang juga sudah lama sejak dulu.
Legenda ini juga memberi pesan bahwa jangan menebang pohon, menggunduli hutan tanpa perhitungan dan upaya memelihara dan reboissasi, akibatnya pasti fatal dan merugikan masyarakat itu sendiri, termasuk kayu ulin yang merupakan kayu keras dan kuat andalan hutan kalimantan ini.
Salah satu legenda naga yang diwariskan turun temurun adalah kisah "Naga Kembar di Pulau Kaget", sebuah pulau yang terletak di sebuah delta di tengah-tengah sungai Barito, termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Tabunganen, Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Pulau Kaget ini terletak dekat muara sungai Barito dan merupakan pulau cagar alam yang ditetapkan berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 788/Kptsum11/1976 dengan luas 85 Ha.
Kondisi alam pulau ini cukup kritis karena adanya penebangan pohon, khususnya pohon rambai padi yang merupakan sumber makanan bagi bekantan (Nasalis Larvatus), sejenis kera hidung panjang yang merupakan maskot fauna provinsi Kalimantan Selatan.
Seperti dilansir dari berangja.blogspot, begitu juga cerita di blog lainnya, pulau kaget ini juga memiliki kisah yang melegenda terkait keberadaan pulau. Diceritakan bahwa pada zaman dahulu kala ada dua orang bersaudara kembar yang bernama Sutakil dan Sutakul.
Keduanya tengah berada di Pulau Kaget untuk menebang empat batang kayu ulin yang tumbuh di pulau angker tersebut. Ketika itu keduanya telah berhasil menebang tiga batang kayu ulin dan tengah menyelesaikan penebangan kayu ulin yang keempat.
Konon dalam ceritanya, kayu ulin yang keempat ini sangat sulit ditebang, batangnya sangat besar dan sangat keras. Sudah satu minggu Sutakil dan Sutakul menebangnya, tapi kayu ulin dimaksud belum juga berhasil ditumbangkan. Sutakil dan Sutakul menjadi penasaran tapi keduanya sudah bertekad pantang menyerah.
Kayu ulin yang mereka tebang ketika itu sesungguhnya bukan kayu ulin biasa, getah yang keluar dari bekas tebangannya berwarna merah dan mengeluarkan bau anyir persis seperti darah.
Dari kisah ini, suatu ketika Sutakil iseng-iseng melemparkan potongan kayu ulin bekas tebangannya itu ke dalam perapian. Muncul keanehan yang cukup mengagetkan, dari sana keluar bau gurih seolah dari daging yang terpanggang.
Sutakil yang merasa penasaran kemudian mengambil potongan kayu ulin yang terbakar itu, kemudian mencicipi atau mencecapkan rasanya di lidah, ternyata potongan kayu ulin dimaksud terasa lezat persis seperti daging panggang pada umumnya. Begitulah, sejak saat itu Sutakil dan Sutakul menjadikan bekas tebangan pohon ulin dimaksud sebagai lauk-pauk teman makan nasi mereka.
Namun akibatnya ulah saudara kembar ini, sungguh fatal, ketika suatu pagi setelah bangun, keduanya tiba-tiba berubah wujud menjadi dua ekor naga. Ternyata bekas tebangan kayu ulin yang mereka makan sebagai daging panggang dimaksud tidak lain adalah potongan tubuh dari seekor naga jelmaan.
Dari sinilah legenda dua pulau kembar dari pulau kaget ini berada. Karena kekagetan dua saudara kembar ini yang konon kemudian menjelma enjadi ular, sehingga pulau ini juga disebut pulau kaget.
Konon, menurut pandangan mata batin sejumlah paranormal di kota Banjarmasin, naga kembar jelmaan dari Sutakil dan Sutakul yang dimaksud hingga sekarang masih menjadi penunggu tetap Pulau Kaget yang angker itu. Pulau Kaget sendiri terletak di tengah-tengah Sungai Barito dan kini dikenal sebagai salah satu obyek wisata andalan daerah Kalimantan selatan.
Sebuah eindahan panorama yang berbalut legenda dan tradisi yang hampir terjadi di setiap daerah di nusantara yang kaya ini. Legenda yang juga menunjukkan bahwa cerita naga ini menjadi bagian dari kedekatan orang Tionghoa dengan masyarakat Banjar yang juga sudah lama sejak dulu.
Legenda ini juga memberi pesan bahwa jangan menebang pohon, menggunduli hutan tanpa perhitungan dan upaya memelihara dan reboissasi, akibatnya pasti fatal dan merugikan masyarakat itu sendiri, termasuk kayu ulin yang merupakan kayu keras dan kuat andalan hutan kalimantan ini.
KISAH DARI BANJAR 1 Habib Hamid bin Abbas Bahasyim (Basirih)
Jumlah pengunjung di Kubah Habib Basirih walau belum dapat
dibandingkan dengan makam Sunan Ampel di Ampel, Surabaya tak mengurangi
ketokohan beliau. Sunan Ampel adalah tokoh utama Wali Songo, sebuah
dewan (forum) ulama kelas wahid di zaman Kesultanan Demak. Dari segi
usia, Sunan Ampel lebih tua dan lebih sepuh dari Habib Basirih yang
hidup di masa yang lebih muda. Habib Basirih hidup di zaman penjajahan
Belanda dan Jepang. Sunan Ampel hidup sekitar 400 tahun sebelum Habib
Basirih. Yang mempertemukan keduanya adalah mereka sama-sama keturunan
dari Waliyullah Muhammad Shahib Mirbath (keturunan generasi ke-16 dari
Rasulullah Muhammad SAW). Silsilah kedua tokoh ini bertemu di Alwi Umul
Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Sunan Ampel dari jalur putra Alwi
Umul Faqih yang bernama Abdul Malik (yang hijrah dari Tarim, Hadramaut,
Yaman ke India) sedang Habib Basirih dari jalur putra Alwi yang bernama
Abdurrahman. Jika Sunan Ampel adalah keturunan ke-23 dari Rasulullah
Muhammad SAW, maka Habib Basirih merupakan keturunan ke-36.
Nasab Habib Basirih adalah sebagai berikut: Hamid bin Abbas bin Abdullah bin Husin bin Awad bin Umar bin Ahmad bin Syekh bin Ahmad bin Abdullah bin Aqil bin Alwi bin Muhammad bin Hasyim bin Abdullah bin Ahmad bin Alwi bin Ahmad AlFaqih bin Abdurrahman bin Alwi Umul Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath.Leluhur Bahasyim di Banjar adalah Habib Awad bin Umar. Habib Awad bin Umar adalah keturunan ke-32 dari Rasulullah Muhammad SAW. Tak ada keterangan jelas perihal asal usul dan di mana Habib Awad tinggal selama hidupnya. Apakah beliau kelahiran Hadramaut (Yaman) atau ada pendahulunya yang berdiam di salah satu daerah di negeri ini dan kemudian hijrah ke nusantara.
Satu versi menyebut Habib Awad masuk ke Banjar lewat Sampit, Kalteng. Keterangan anggota keluarga Bahasyim lainnya menyebut bahwa Habib Awad bermakam di Bima, Nusa Tenggara Barat. Oleh karena itu antara Bahasyim di Banjar dengan Bahasyim di Bima ada pertalian persaudaraan. Satu versi lain menyebutkan bahwa salah satu cucu Habib Awad bin Umar ada yang hijrah ke Bima dan kemudian menurunkan keluarga besar Bahasyim di Bima. Tapi sebagian besar anggota keluarga Bahasyim berpandangan bahwa Habib Awad adalah Bahasyim tertua (paling awal) yang datang ke Tanah Banjar (Lihat Mata Banua, 8 Agustus: Kisah Para Penebang Kayu Trah Bahasyim Basirih).
Selain dapat ditempuh lewat jalan darat (ada rute trayek angkutan kota/taksi kuning yang melintasi dan menuju Kubah Habib Basirih), peziarah juga dapat mengunjungi petilasan Basirih lewat jalur sungai. Belum ada biro perjalanan wisata yang menggarap rute alternatif via jalan sungai ini sebagai bagian dari paket wisatanya. Sebelum mencapai Kubah Habib Basirih, beberapa ratus meter sebelumnya terdapat pula makam ibu beliau yakni Syarifah Ra’anah. Makam Habib Basirih dan ibundanya masuk dalam daftar inventaris binaan Dinas Pariwisata Kota Banjarmasin. Keduanya digolongkan sebagai objek wisata religius (spiritual) yang layak dikunjungi. Makam Habib Abbas bin Abdullah Bahasyim, suami Syarifah Ra’anah dan ayahanda Habib Basirih justru tak diketahui keberadaannya hingga kini.
Beberapa pihak menduga makam beliau berkumpul di pemakaman habaib di Basirih seberang sungai di dekat Masjid Jami Darut Taqwa Kelurahan Basirih, Banjar Selatan. Masjid ini menurut keterangan didirikan tahun 1822 oleh H Mayasin. Pada tahun 1848 keluarga Habib Basirih pernah merehab masjid ini.Versi lain mengatakan Habib Abbas bermakam di wilayah Sungai Baru. Habbis Abbas dikenal sebagai saudagar kaya raya dan mempunyai kapal dagang. Beliau juga disebut-sebut mempunyai tanah yang cukup luas di wilayah Basirih di samping di Sungai Baru (kini nama sebuah kelurahan di sekitar Jalan A Yani dan Jalan Pekapuran).
Nama Basirih bersinar tak lepas dari sosok Habib Hamid. Beliau pernah berkhalwat (mengurung diri dan melakukan sejumlah amalan) sekian tahun di dalam sebuah rumah (gubuk) kecil tak jauh dari makamnya sekarang. Pada zaman Jepang, Habib Hamid keluar dari pertapaannya. Sejumlah kelakuan aneh beliau belakangan dipahami sebagai pekerjaan kewalian beliau menyelamatkan orang lain. Suatu kali, misalnya, dengan menggunakan gayung, Habib Hamid memindahkan air dari satu tempat ke tempat lain. Orang-orang menilai pekerjaan itu sebagai perbuatan tak bermakna. Padahal, itu adalah cara Habib Hamid menyelamatkan kapal penumpang yang nyaris karam di lautan luas. Sebab di belakang hari ada orang datang ke rumah beliau dan mengucapkan terima kasih atas pertolongan Habib Basirih waktu kapal mereka hampir karam di tengah laut.
Perbuatan Habib Hamid lainnya yang spektakuler adalah menghidupkan kambing mati. Suatu hari, seorang tetangga mengatakan kepada beliau bahwa di batang (rakitan kayu gelondongan di atas sungai yang dapat berfungsi untuk tempat mandi dsbnya) milik Habib Basirih terdapat bangkai kambing yang sudah membusuk. Bersama Habib Hamid, tetangga itu turun ke batang untuk membuktikan penglihatannya. Tetangga itu kaget ketika matanya menatap seekor kambing hidup terikat di batang Habib Hamid.Ulah Habib Hamid lainnya adalah beliau pernah duduk di atas tanggui (penutup kepala berbentuk bundar terbuat dari daun nipah) menyeberangi Sungai Basirih menengok keponakannya Habib Ahmad bin Hasan bin Alwi bin Idrus Bahasyim (Habib Batillantang).
“Waktu kecil saya pernah diberi gulungan benang layang-layang,” ujar Habib Abdul Kadir bin Ghasim bin Thaha Bahasyim, 86 tahun. Gulungan benang layang-layang itu kemudian dipahami oleh Habib Abdul Kadir sebagai perjalanan hidupnya yang sepanjang tali benang layang-layang. HabibAbdul Kadir bekerja di kapal dagang dan berlayar mengarungi berbagai penjuru wilayah pedalaman Kalimantan.Beberapa wanita tua di Basirih mengungkapkan pernah diajak orangtuanya berziarah ke Habib Basirih ketika beliau hidup untuk minta ‘berkah’. Beberapa orang tua meminta air kepada Habib Basirih dengan hajat agar anak-anak mereka pandai mengaji. Setalah diberi ‘air penenang’ anak-anak kecil mereka pun lancar membaca Kitab Suci AlQur’an.
Kisah lainnya, beberapa pria dari atas perahu melintas di depan batang Habib Basirih. Mereka mengolok-olok Habib Basirih ketika beliau sedang mandi di atas batang. Gerak-gerik Habib Basirih yang ganjil menyulut mereka mengeluarkan ucapan yang kurang pantas. Tiba-tiba, perahu mereka menabrak tebing sisi sungai dan kandas. Cerita lainnya, yang masyhur beredar di Basirih, seorang pedagang ikan berperahu menolak panggilan singgah Habib Hamid. Si pedagang berpikir tak mungkin Habib Basirih membayar dagangannya. Akibatnya, selama satu hari penuh tak satupun barang jualan pedagang ikan tersebut ada yang laku. Sementara pedagang lainnya yang menghampiri panggilan Habib Basirih, berkayuh menuju rumah lebih cepat sebab dagangannya hari itu tak bersisa.
Habib Hamid banyak mengungkapkan sesuatu dengan bahasa perlambang (isyarat). Hanya segelintir orang yang paham dengan perkataannya. Suatu hari datang seorang Jepang menemui Habib Basirih. Si Jepang kemudian berjanji setelah urusannya di Makasar selesai akan kembali membawa Habib Basirih ke rumah sakit jiwa. “Pesawat orang Jepang itu jatuh dalam perjalanan ke Makassar,” ujar Syarifah Khadijah binti Habib Hasan Bahasyim, 70 tahun, cucu Habib Basirih.“Selesai berkhalwat di sebuah rumah kecil, Habib Basirih naik ke rumah ini,” ujar Syarifah Khadijah. Kenang-kenangan fisik yang tersisa dari Habib Basirih yang bisa disaksikan adalah foto beliau bersama anak cucunya pada tahun 1949, beberapa waktu sebelum beliau berpulang ke rahmatullah. “Waktu ditawari difoto Habib Basirih cuma tersenyum, menolak tidak, mengiyakan tidak. Tukang fotonya namanya Beng Kiang,” tutur Syarifah Khadidjah.
Nasab Habib Basirih adalah sebagai berikut: Hamid bin Abbas bin Abdullah bin Husin bin Awad bin Umar bin Ahmad bin Syekh bin Ahmad bin Abdullah bin Aqil bin Alwi bin Muhammad bin Hasyim bin Abdullah bin Ahmad bin Alwi bin Ahmad AlFaqih bin Abdurrahman bin Alwi Umul Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath.Leluhur Bahasyim di Banjar adalah Habib Awad bin Umar. Habib Awad bin Umar adalah keturunan ke-32 dari Rasulullah Muhammad SAW. Tak ada keterangan jelas perihal asal usul dan di mana Habib Awad tinggal selama hidupnya. Apakah beliau kelahiran Hadramaut (Yaman) atau ada pendahulunya yang berdiam di salah satu daerah di negeri ini dan kemudian hijrah ke nusantara.
Satu versi menyebut Habib Awad masuk ke Banjar lewat Sampit, Kalteng. Keterangan anggota keluarga Bahasyim lainnya menyebut bahwa Habib Awad bermakam di Bima, Nusa Tenggara Barat. Oleh karena itu antara Bahasyim di Banjar dengan Bahasyim di Bima ada pertalian persaudaraan. Satu versi lain menyebutkan bahwa salah satu cucu Habib Awad bin Umar ada yang hijrah ke Bima dan kemudian menurunkan keluarga besar Bahasyim di Bima. Tapi sebagian besar anggota keluarga Bahasyim berpandangan bahwa Habib Awad adalah Bahasyim tertua (paling awal) yang datang ke Tanah Banjar (Lihat Mata Banua, 8 Agustus: Kisah Para Penebang Kayu Trah Bahasyim Basirih).
Selain dapat ditempuh lewat jalan darat (ada rute trayek angkutan kota/taksi kuning yang melintasi dan menuju Kubah Habib Basirih), peziarah juga dapat mengunjungi petilasan Basirih lewat jalur sungai. Belum ada biro perjalanan wisata yang menggarap rute alternatif via jalan sungai ini sebagai bagian dari paket wisatanya. Sebelum mencapai Kubah Habib Basirih, beberapa ratus meter sebelumnya terdapat pula makam ibu beliau yakni Syarifah Ra’anah. Makam Habib Basirih dan ibundanya masuk dalam daftar inventaris binaan Dinas Pariwisata Kota Banjarmasin. Keduanya digolongkan sebagai objek wisata religius (spiritual) yang layak dikunjungi. Makam Habib Abbas bin Abdullah Bahasyim, suami Syarifah Ra’anah dan ayahanda Habib Basirih justru tak diketahui keberadaannya hingga kini.
Beberapa pihak menduga makam beliau berkumpul di pemakaman habaib di Basirih seberang sungai di dekat Masjid Jami Darut Taqwa Kelurahan Basirih, Banjar Selatan. Masjid ini menurut keterangan didirikan tahun 1822 oleh H Mayasin. Pada tahun 1848 keluarga Habib Basirih pernah merehab masjid ini.Versi lain mengatakan Habib Abbas bermakam di wilayah Sungai Baru. Habbis Abbas dikenal sebagai saudagar kaya raya dan mempunyai kapal dagang. Beliau juga disebut-sebut mempunyai tanah yang cukup luas di wilayah Basirih di samping di Sungai Baru (kini nama sebuah kelurahan di sekitar Jalan A Yani dan Jalan Pekapuran).
Nama Basirih bersinar tak lepas dari sosok Habib Hamid. Beliau pernah berkhalwat (mengurung diri dan melakukan sejumlah amalan) sekian tahun di dalam sebuah rumah (gubuk) kecil tak jauh dari makamnya sekarang. Pada zaman Jepang, Habib Hamid keluar dari pertapaannya. Sejumlah kelakuan aneh beliau belakangan dipahami sebagai pekerjaan kewalian beliau menyelamatkan orang lain. Suatu kali, misalnya, dengan menggunakan gayung, Habib Hamid memindahkan air dari satu tempat ke tempat lain. Orang-orang menilai pekerjaan itu sebagai perbuatan tak bermakna. Padahal, itu adalah cara Habib Hamid menyelamatkan kapal penumpang yang nyaris karam di lautan luas. Sebab di belakang hari ada orang datang ke rumah beliau dan mengucapkan terima kasih atas pertolongan Habib Basirih waktu kapal mereka hampir karam di tengah laut.
Perbuatan Habib Hamid lainnya yang spektakuler adalah menghidupkan kambing mati. Suatu hari, seorang tetangga mengatakan kepada beliau bahwa di batang (rakitan kayu gelondongan di atas sungai yang dapat berfungsi untuk tempat mandi dsbnya) milik Habib Basirih terdapat bangkai kambing yang sudah membusuk. Bersama Habib Hamid, tetangga itu turun ke batang untuk membuktikan penglihatannya. Tetangga itu kaget ketika matanya menatap seekor kambing hidup terikat di batang Habib Hamid.Ulah Habib Hamid lainnya adalah beliau pernah duduk di atas tanggui (penutup kepala berbentuk bundar terbuat dari daun nipah) menyeberangi Sungai Basirih menengok keponakannya Habib Ahmad bin Hasan bin Alwi bin Idrus Bahasyim (Habib Batillantang).
“Waktu kecil saya pernah diberi gulungan benang layang-layang,” ujar Habib Abdul Kadir bin Ghasim bin Thaha Bahasyim, 86 tahun. Gulungan benang layang-layang itu kemudian dipahami oleh Habib Abdul Kadir sebagai perjalanan hidupnya yang sepanjang tali benang layang-layang. HabibAbdul Kadir bekerja di kapal dagang dan berlayar mengarungi berbagai penjuru wilayah pedalaman Kalimantan.Beberapa wanita tua di Basirih mengungkapkan pernah diajak orangtuanya berziarah ke Habib Basirih ketika beliau hidup untuk minta ‘berkah’. Beberapa orang tua meminta air kepada Habib Basirih dengan hajat agar anak-anak mereka pandai mengaji. Setalah diberi ‘air penenang’ anak-anak kecil mereka pun lancar membaca Kitab Suci AlQur’an.
Kisah lainnya, beberapa pria dari atas perahu melintas di depan batang Habib Basirih. Mereka mengolok-olok Habib Basirih ketika beliau sedang mandi di atas batang. Gerak-gerik Habib Basirih yang ganjil menyulut mereka mengeluarkan ucapan yang kurang pantas. Tiba-tiba, perahu mereka menabrak tebing sisi sungai dan kandas. Cerita lainnya, yang masyhur beredar di Basirih, seorang pedagang ikan berperahu menolak panggilan singgah Habib Hamid. Si pedagang berpikir tak mungkin Habib Basirih membayar dagangannya. Akibatnya, selama satu hari penuh tak satupun barang jualan pedagang ikan tersebut ada yang laku. Sementara pedagang lainnya yang menghampiri panggilan Habib Basirih, berkayuh menuju rumah lebih cepat sebab dagangannya hari itu tak bersisa.
Habib Hamid banyak mengungkapkan sesuatu dengan bahasa perlambang (isyarat). Hanya segelintir orang yang paham dengan perkataannya. Suatu hari datang seorang Jepang menemui Habib Basirih. Si Jepang kemudian berjanji setelah urusannya di Makasar selesai akan kembali membawa Habib Basirih ke rumah sakit jiwa. “Pesawat orang Jepang itu jatuh dalam perjalanan ke Makassar,” ujar Syarifah Khadijah binti Habib Hasan Bahasyim, 70 tahun, cucu Habib Basirih.“Selesai berkhalwat di sebuah rumah kecil, Habib Basirih naik ke rumah ini,” ujar Syarifah Khadijah. Kenang-kenangan fisik yang tersisa dari Habib Basirih yang bisa disaksikan adalah foto beliau bersama anak cucunya pada tahun 1949, beberapa waktu sebelum beliau berpulang ke rahmatullah. “Waktu ditawari difoto Habib Basirih cuma tersenyum, menolak tidak, mengiyakan tidak. Tukang fotonya namanya Beng Kiang,” tutur Syarifah Khadidjah.
Asal Mula Kuda Gipang Banjar
Kuda gipang Banjar nitu tamasuk kasanian banua Banjar nang maambil
carita wayang Mahabrata, nang kisahnya, baupacara bakarasmin
bakakawinan. Nang dikawinakan saikung Pandawa Lima, Bima lawan Dewi
Arimbi, anak Sang Hiang Parabu Kisa, asal Nagara Sura Paringgadani.
Wadah patataian pangantin Bima lawan Dewi Arimbi nitu diulahakan Balai Sakadumas, diramiakan tuntunan tatarian lawan gagamalan nang bangaran tapung tali, luntang, kijik, kudak, lagurih lawan parabangsa.
Gagamalannya wayah dahulu ada kulung-kulung, babun lawan agung. Wayah hini sarun, daun lawan kanung. Manurut kisah, kuda gipang nang dipimpin ulih sikung raja, baisi anak buahnya nang bangaran Raden Arimba, Braja Kangkapa, Braja Santika, Braja Musti, Braja Sangatan, Braja Danta, ditambah lawan bubuhan punggawa lainnya. Samunyaan pasukan nitu sampai sapuluh atawa labih bubuhan prajurit anak buahnya.
Kuda-kudanya kada hingkat ditunggang. Sababnya raja nitu urang nang sakti. Amun kudanya ditunggang, maka kuda nitu jadi rabah sampai lumpuh. Asal usulnya tapaksa kuda nitu dikapit di bawah katiak, ada kisahnya pada wayah dahulu. Dangarakan kisahnya.
Nagara Dipa nang rajanya bangaran Pangeran Suryanata nitu sudah katahuani urang sampai ka mana-mana. Urang nagri Cina nang jauh nitu gin sudah tahu jua, salawas Ampu Jatmika minta diulahakan patung gangsa gasan diandak di Nagara Dipa. Wayah nitu disuruh Wiramartas maurus pasanan baulah patung gangsa ka nagri Cina.
Mangkubumi Lambung Mangkurat sudah takanal banar jua, sampai kaluar banua. Urang mandangar Lambung Mangkurat nitu mangkubumi karajaan Nagara Dipa nang paling wani, gagah, taguh, dihurmati ulih samunyaan urang.
Karajaan Majapahit nang ada di Jawa sudah lawas jua ada bahubungan lawan Nagara Dipa. Malahan bahubungan nitu tamasuk tutus rajanya, nang asal usulnya Pangeran Suryanata nitu anak tapaan raja Majapahit.
Pada suati hari, Lambung Mangkurat dapat undangan tumatan raja Majapahit di jawa. Maksudnya maundang gasan marakatakan hubungan karajaan Majapahit lawan karajaan Nagara Dipa.
Wayya ari nang ditantuakan nitu, maka barangkat, tulakan Lambung Mangkurat mambawa kapal si Parabayaksa, kapal karajaan nagara Dipa nang ganal nitu.
Limbah Lambung Mangkurat malapur lawan raja Pangeran Suryanata, kapal nitu balayar manuju pulau Jawa. Umpat jua di situ hulubalang Arya Magatsari lawan Tumanggung Tatahjiwa. Kada tatinggal bubuhan pangawal kaamanan Singabana, Singantaka, Singapati lawan anak buah kapal si Parabayaksa.
Salawasan dalam parjalanan di Laut Jawa, kapal karajaan nitu balayar laju, kadada halangan nangapa-apa. Samunyaan anak buah kapal bagawi raji nang dituhai ulih juragaan.
Kada lawas kapal si Parabayaksa nitu parak sudah lawan palabuhan karajaan Majapahit. Raja Majapahit nang mandangar kapal datang tumatan di Nagara Dipa, lakas mamarintahakan manyiapakan sambutan. Inya tahu di kapal nitu musti ada Lambung Mangkurat nang diundangnya.
Kadatangan Lambung Mangkurat ka karajaan Majapahit nitu tarus dipapak ulih Gajah Mada di kapal si Parabayaksa, balalu dibawa ka istana karajaan Majapahit.
Raja Majapahit duduk di Sitiluhur nang dikulilingi ulih pangapitnya. Lambung Mangkuratduduk di Rancak Suci, nang pangawalnya duduk di balakang. Raja Majapahit suka bangat manyambut Lambung Mangkurat. Inya mangiau “paman” lawan Lambung Mangkurat. Wayah nitu Lambung Mangkurat bujur-bujur kaliatan gagah nang raja Majapahit nitu mahurmatinya.
Lambung Mangkurat manyampaiakan salam kahurmatan raja Nagara Dipa Pangeran Suryanata lawan raja Majapahit, balalu manyampaiakan tanda mata talu bigi intan lawan raja Majapahit nitu. Raja Majapahit suka bangat inya manarima tanda mata intan.
Wayah nitu, sudah pitung hari, Lambung Mangkurat, bubuhan hulubalang lawan pangawal kaamanan Singabana jadi tamu kahurmatan di karajaan Majapahit. Bubuhannya maliat-liat isi karajaan, istananya, maliat kaahlian prajurit-prajurit, lawan pasukan kaamanan karajaan nitu. Bubuhannya jua dibari makan nginum karajaan.
Limbah sudah puas di karajaan Majapahit nitu, Lambung Mangkurat sabarataan handak bulikan ka banua Nagara Dipa. Wayah malamnya, ulih raja Majapahit diadakan tuntunan kasanian gasan mahibur Lambung Mangkurat lawan bubuhannya nang cagar bulikan ka banua asal di subarang.
Isuk baisukannya Lambung Mangkurat dibari tanda mata ulih raja Majapahit saikung kuda putih nang tinggi lawan ganal-ganalnya. Kuda nitu gagah, bigas, ujar tu tamasuk kuda nang paling harat di karajaan Majapahit.
Lambung Mangkurat manarima kuda nitu suka bangat, balalu tarus dibawa kaluar halaman istana. Wayah hnadak dibawa ampah ka kapal si Parabayaksa, hulubalang Tumanggung Tatahjiwa baucap:
“Bapa Lambung Mangkurat! Kaya apa amun kuda pambarian raja naya ditunggang dahulu, nyaman kaliatan kaharatannya”.
“Bujur jua”, dalam hati Lambung Mangkurat.
Limbah Lambung Mangkurat duduk di atas balakang kuda putih nitu, sakalinya kuda pambarian raja nitu rabah, inya lumpuh, sampai talipat batisnya ka tanah.
Lambung Mangkurat, hulubalang Arya Magatsari,Tuamnggung Tatahjiwa lawan bubuhan Singabana takajut, hiran bangat limbah maliat kuda nitu lumpuh. Padahal dipadahakan kuda nitu harat, gagah lawan bigas-bigasnya.
“Kita hadangi satumat. Kaina ditunggang pulang”, ujar hulubalang Arya Magatsari. Bujur jua, limbah dihadangi satumat, Lambung Mangkurat manunggang pulang kuda nitu. Kada dikira, kuda nang ganal nitu lumpuh pulang. Bubuhannya barataan nang ada disitu hiran pulang maliat kuda nitu lumpuh.
“Amun kaya nitu kuda naya dicuba ditunggang talu kali, tagal kita hadangi talawasi pada nang tadahulu”, ujar hulubaalang tumanggung tatahjiwa.
Bubuhannya banarai dahulu sambil mamusut-mamusut gulu lawan kapal kuda nitu. Kada lawas limbah nitu Lambung Mangkurat balalu baluncat naik ka atas blakang kuda. Babayanya Lambung Mangkurat duduk di atas balakang kuda nitu, inya lumpuh pulang. Sakali naya kaampat batis kuda nitu talipat sampai ka tanah. Lambung Mangkurat lawan bubuhannya nang disitu jadi hiran bangat. Padahal ujar habar kuda nitu harat bangat.
Lambung Mangkurat jadi asa kasina limbah maliat kuda nitu lumpuh. Apalagi limbah ditariknya tali hidung kuda nitu, kuda nitu kada kawa bajalan.
“Kaya apa pikiran?”, ujar hulubalang Arya Magatsari.
“Amun kuda naya kita bulikakan ka karajaan Majapahit kaya apa?”, ujar saikung angguta Singabana.
“Jangan! Nitu artinya kita kada mahurmati pambarian raja Majapahit”, ujar nang saikung angguta Singabana.
“Jangan! Nitu artinya kita kada mahurmati pambarian raja Majapahit”, ujar hulubalang Tumanggung Tatahjiwa.
“Bujur!”, ujar Lambung Mangkurat manyahuti.
“Nang kaya apa haja jadinya, kuda naya musti kita bawa bulik ka banua kita nGara Dipa. Sabab kuda naya pambarian kahurmatan”, ujar Lambung Mangkurat manambahi.
Barataan nang ada di situ pina bingung. Tagal Lambung Mangkurat haja nang kada bingung. Inya balalu duduk di tanah mahadapi matahari hidup. Kadua balah batisnya basila. Kadua balah tangannya diandaknya di atas paha. Balalu inya mamicingakan matanya sambil mambaca mantra. Lawas inya baparigal kaya nitu, balalu inya badiri, matanya nyarak, kaliatan pina batambah bigas, batambah sumangat nang luar biasa. Lambung Mangkurat sakalinya mangaluarakan kasaktiannya. Dasar bujur-bujur inya urang nang sakti. Limbah nitu, kada kaya paribasa, kuda nitu diangkatnya, dikapitnya di bawah katiaknya tangan nang subalah kanan.
Awak Lambung Mangkurat nang tinggi lawan ganal-ganalnya nitu pina hampul haja maangkat kuda putih nitu, tarus dibawahnya masuk ka dalam kapal si Parabayaksa.
Hulubalang lawan sabarataan nang ada disitu jadi tacaragal maliat kaharatan Lambung Mangkurat nang maangkat kuda pambarian raja Majapahit nitu. Balum biasa bubuhannya maliat Lambung Mangkurat nang hingkat maangkat kuda macam nitu.
Kada lawas limbah nitu, kapal si Parabayaksa balalu balayar mambawa Lambung Mangkurat, hulubalang, bubuhan pangawal kaamanan lawan sabarataan anak buah. Kapal ganal nitu sing lajuan manuju ampah karajaan Nagara Dipa.
Bubuhan kulawarga karajaan Nagara Dipa nang ada di banua, suka bangat manyambut kadatangan kapal si Parabayaksa nang dipimpin ulih Lambung Mangkurat nitu. Apalagi limbah mandangar ada kuda gagah pambarian raja Majapahit nang diangkat ulih Lambung Mangkurat.
Kuda pambarian raja, kuda putih nang gagah, tinggi lawan ganal-ganalnya nitu diharagu di karajaan Nagara Dipa. Limbah nitu, kada lawas, balalu diadaakan kasanian kuda gipang Banjar nang kudanya diigalakan, dikapit bawah katiak sampai wayah hini.
Wadah patataian pangantin Bima lawan Dewi Arimbi nitu diulahakan Balai Sakadumas, diramiakan tuntunan tatarian lawan gagamalan nang bangaran tapung tali, luntang, kijik, kudak, lagurih lawan parabangsa.
Gagamalannya wayah dahulu ada kulung-kulung, babun lawan agung. Wayah hini sarun, daun lawan kanung. Manurut kisah, kuda gipang nang dipimpin ulih sikung raja, baisi anak buahnya nang bangaran Raden Arimba, Braja Kangkapa, Braja Santika, Braja Musti, Braja Sangatan, Braja Danta, ditambah lawan bubuhan punggawa lainnya. Samunyaan pasukan nitu sampai sapuluh atawa labih bubuhan prajurit anak buahnya.
Kuda-kudanya kada hingkat ditunggang. Sababnya raja nitu urang nang sakti. Amun kudanya ditunggang, maka kuda nitu jadi rabah sampai lumpuh. Asal usulnya tapaksa kuda nitu dikapit di bawah katiak, ada kisahnya pada wayah dahulu. Dangarakan kisahnya.
Nagara Dipa nang rajanya bangaran Pangeran Suryanata nitu sudah katahuani urang sampai ka mana-mana. Urang nagri Cina nang jauh nitu gin sudah tahu jua, salawas Ampu Jatmika minta diulahakan patung gangsa gasan diandak di Nagara Dipa. Wayah nitu disuruh Wiramartas maurus pasanan baulah patung gangsa ka nagri Cina.
Mangkubumi Lambung Mangkurat sudah takanal banar jua, sampai kaluar banua. Urang mandangar Lambung Mangkurat nitu mangkubumi karajaan Nagara Dipa nang paling wani, gagah, taguh, dihurmati ulih samunyaan urang.
Karajaan Majapahit nang ada di Jawa sudah lawas jua ada bahubungan lawan Nagara Dipa. Malahan bahubungan nitu tamasuk tutus rajanya, nang asal usulnya Pangeran Suryanata nitu anak tapaan raja Majapahit.
Pada suati hari, Lambung Mangkurat dapat undangan tumatan raja Majapahit di jawa. Maksudnya maundang gasan marakatakan hubungan karajaan Majapahit lawan karajaan Nagara Dipa.
Wayya ari nang ditantuakan nitu, maka barangkat, tulakan Lambung Mangkurat mambawa kapal si Parabayaksa, kapal karajaan nagara Dipa nang ganal nitu.
Limbah Lambung Mangkurat malapur lawan raja Pangeran Suryanata, kapal nitu balayar manuju pulau Jawa. Umpat jua di situ hulubalang Arya Magatsari lawan Tumanggung Tatahjiwa. Kada tatinggal bubuhan pangawal kaamanan Singabana, Singantaka, Singapati lawan anak buah kapal si Parabayaksa.
Salawasan dalam parjalanan di Laut Jawa, kapal karajaan nitu balayar laju, kadada halangan nangapa-apa. Samunyaan anak buah kapal bagawi raji nang dituhai ulih juragaan.
Kada lawas kapal si Parabayaksa nitu parak sudah lawan palabuhan karajaan Majapahit. Raja Majapahit nang mandangar kapal datang tumatan di Nagara Dipa, lakas mamarintahakan manyiapakan sambutan. Inya tahu di kapal nitu musti ada Lambung Mangkurat nang diundangnya.
Kadatangan Lambung Mangkurat ka karajaan Majapahit nitu tarus dipapak ulih Gajah Mada di kapal si Parabayaksa, balalu dibawa ka istana karajaan Majapahit.
Raja Majapahit duduk di Sitiluhur nang dikulilingi ulih pangapitnya. Lambung Mangkuratduduk di Rancak Suci, nang pangawalnya duduk di balakang. Raja Majapahit suka bangat manyambut Lambung Mangkurat. Inya mangiau “paman” lawan Lambung Mangkurat. Wayah nitu Lambung Mangkurat bujur-bujur kaliatan gagah nang raja Majapahit nitu mahurmatinya.
Lambung Mangkurat manyampaiakan salam kahurmatan raja Nagara Dipa Pangeran Suryanata lawan raja Majapahit, balalu manyampaiakan tanda mata talu bigi intan lawan raja Majapahit nitu. Raja Majapahit suka bangat inya manarima tanda mata intan.
Wayah nitu, sudah pitung hari, Lambung Mangkurat, bubuhan hulubalang lawan pangawal kaamanan Singabana jadi tamu kahurmatan di karajaan Majapahit. Bubuhannya maliat-liat isi karajaan, istananya, maliat kaahlian prajurit-prajurit, lawan pasukan kaamanan karajaan nitu. Bubuhannya jua dibari makan nginum karajaan.
Limbah sudah puas di karajaan Majapahit nitu, Lambung Mangkurat sabarataan handak bulikan ka banua Nagara Dipa. Wayah malamnya, ulih raja Majapahit diadakan tuntunan kasanian gasan mahibur Lambung Mangkurat lawan bubuhannya nang cagar bulikan ka banua asal di subarang.
Isuk baisukannya Lambung Mangkurat dibari tanda mata ulih raja Majapahit saikung kuda putih nang tinggi lawan ganal-ganalnya. Kuda nitu gagah, bigas, ujar tu tamasuk kuda nang paling harat di karajaan Majapahit.
Lambung Mangkurat manarima kuda nitu suka bangat, balalu tarus dibawa kaluar halaman istana. Wayah hnadak dibawa ampah ka kapal si Parabayaksa, hulubalang Tumanggung Tatahjiwa baucap:
“Bapa Lambung Mangkurat! Kaya apa amun kuda pambarian raja naya ditunggang dahulu, nyaman kaliatan kaharatannya”.
“Bujur jua”, dalam hati Lambung Mangkurat.
Limbah Lambung Mangkurat duduk di atas balakang kuda putih nitu, sakalinya kuda pambarian raja nitu rabah, inya lumpuh, sampai talipat batisnya ka tanah.
Lambung Mangkurat, hulubalang Arya Magatsari,Tuamnggung Tatahjiwa lawan bubuhan Singabana takajut, hiran bangat limbah maliat kuda nitu lumpuh. Padahal dipadahakan kuda nitu harat, gagah lawan bigas-bigasnya.
“Kita hadangi satumat. Kaina ditunggang pulang”, ujar hulubalang Arya Magatsari. Bujur jua, limbah dihadangi satumat, Lambung Mangkurat manunggang pulang kuda nitu. Kada dikira, kuda nang ganal nitu lumpuh pulang. Bubuhannya barataan nang ada disitu hiran pulang maliat kuda nitu lumpuh.
“Amun kaya nitu kuda naya dicuba ditunggang talu kali, tagal kita hadangi talawasi pada nang tadahulu”, ujar hulubaalang tumanggung tatahjiwa.
Bubuhannya banarai dahulu sambil mamusut-mamusut gulu lawan kapal kuda nitu. Kada lawas limbah nitu Lambung Mangkurat balalu baluncat naik ka atas blakang kuda. Babayanya Lambung Mangkurat duduk di atas balakang kuda nitu, inya lumpuh pulang. Sakali naya kaampat batis kuda nitu talipat sampai ka tanah. Lambung Mangkurat lawan bubuhannya nang disitu jadi hiran bangat. Padahal ujar habar kuda nitu harat bangat.
Lambung Mangkurat jadi asa kasina limbah maliat kuda nitu lumpuh. Apalagi limbah ditariknya tali hidung kuda nitu, kuda nitu kada kawa bajalan.
“Kaya apa pikiran?”, ujar hulubalang Arya Magatsari.
“Amun kuda naya kita bulikakan ka karajaan Majapahit kaya apa?”, ujar saikung angguta Singabana.
“Jangan! Nitu artinya kita kada mahurmati pambarian raja Majapahit”, ujar nang saikung angguta Singabana.
“Jangan! Nitu artinya kita kada mahurmati pambarian raja Majapahit”, ujar hulubalang Tumanggung Tatahjiwa.
“Bujur!”, ujar Lambung Mangkurat manyahuti.
“Nang kaya apa haja jadinya, kuda naya musti kita bawa bulik ka banua kita nGara Dipa. Sabab kuda naya pambarian kahurmatan”, ujar Lambung Mangkurat manambahi.
Barataan nang ada di situ pina bingung. Tagal Lambung Mangkurat haja nang kada bingung. Inya balalu duduk di tanah mahadapi matahari hidup. Kadua balah batisnya basila. Kadua balah tangannya diandaknya di atas paha. Balalu inya mamicingakan matanya sambil mambaca mantra. Lawas inya baparigal kaya nitu, balalu inya badiri, matanya nyarak, kaliatan pina batambah bigas, batambah sumangat nang luar biasa. Lambung Mangkurat sakalinya mangaluarakan kasaktiannya. Dasar bujur-bujur inya urang nang sakti. Limbah nitu, kada kaya paribasa, kuda nitu diangkatnya, dikapitnya di bawah katiaknya tangan nang subalah kanan.
Awak Lambung Mangkurat nang tinggi lawan ganal-ganalnya nitu pina hampul haja maangkat kuda putih nitu, tarus dibawahnya masuk ka dalam kapal si Parabayaksa.
Hulubalang lawan sabarataan nang ada disitu jadi tacaragal maliat kaharatan Lambung Mangkurat nang maangkat kuda pambarian raja Majapahit nitu. Balum biasa bubuhannya maliat Lambung Mangkurat nang hingkat maangkat kuda macam nitu.
Kada lawas limbah nitu, kapal si Parabayaksa balalu balayar mambawa Lambung Mangkurat, hulubalang, bubuhan pangawal kaamanan lawan sabarataan anak buah. Kapal ganal nitu sing lajuan manuju ampah karajaan Nagara Dipa.
Bubuhan kulawarga karajaan Nagara Dipa nang ada di banua, suka bangat manyambut kadatangan kapal si Parabayaksa nang dipimpin ulih Lambung Mangkurat nitu. Apalagi limbah mandangar ada kuda gagah pambarian raja Majapahit nang diangkat ulih Lambung Mangkurat.
Kuda pambarian raja, kuda putih nang gagah, tinggi lawan ganal-ganalnya nitu diharagu di karajaan Nagara Dipa. Limbah nitu, kada lawas, balalu diadaakan kasanian kuda gipang Banjar nang kudanya diigalakan, dikapit bawah katiak sampai wayah hini.
Sabtu, 11 Februari 2012
Jumat, 10 Februari 2012
Asal Usul Kota Banjarmasin | Dongeng Anak dan Cerita Rakyat
Pada zaman dahulu berdirilah sebuah
kerajaan bernama Nagara Daha. Kerajaan itu didirikan Putri Kalungsu
bersama putranya, Raden Sari Kaburangan alias Sekar Sungsang yang
bergelar Panji Agung Maharaja Sari Kaburangan. Konon, Sekar Sungsang
seorang penganut Syiwa. la mendirikan candi dan lingga terbesar di
Kalimantan Selatan. Candi yang didirikan itu bernama Candi Laras.
Pengganti Sekar Sungsang adalah Maharaja Sukarama. Pada masa
pemerintahannya, pergolakan berlangsung terus-menerus. Walaupun Maharaja
Sukarama mengamanatkan agar cucunya, Pangeran Samudera, kelak
menggantikan tahta, Pangeran Mangkubumi-lah yang naik takhta.
Kerajaan
tidak hentinya mengalami kekacauan karena perebutan kekuasaan. Konon,
siapa pun menduduki takhta akan merasa tidak aman dari rongrongan.
Pangeran Mangkubumi akhirnya terbunuh dalam suatu usaha perebutan
kekuasaan. Sejak itu, Pangeran Tumenggung menjadi penguasa kerajaan.
Pewaris
kerajaan yang sah, Pangeran Samudera, pasti tidak aman jika tetap
tinggal dalam Lingkungan kerajaan. Atas bantuan patih Kerajaan Nagara
Daha, Pangeran Samudera melarikan diri. Ia menyamar dan hidup di daerah
sepi di sekitar muara Sungai Barito. Dari Muara Bahan, bandar utama
Nagara Daha, mengikuti aliran sungai hingga ke muara Sungai Barito,
terdapat kampung-kampung yang berbanjar-banjar atau berderet-deret
melintasi tepi-tepi sungai. Kampung-kampung itu adalah Balandean,
Sarapat, Muhur, Tamban, Kuin, Balitung, dan Banjar.
Di
antara kampung-kampung itu, Banjar-lah yang paling bagus letaknya.
Kampung Banjar dibentuk oleh lima aliran sungai yang muaranya bertemu di
Sungai Kuin.
Karena letaknya yang
bagus, kampung Banjar kemudian berkembang menjadi bandar, kota
perdagangan yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang dari berbagai
negeri. Bandar itu di bawah kekuasaan seorang patih yang biasa disebut
Patih Masih. Bandar itu juga dikenal dengan nama Bandar Masih.
Patih
Masih mengetahui bahwa Pangeran Samudera, pemegang hak atas Nagara Daha
yang sah, ada di wilayahnya. Kemudian, ia mengajak Patih Balit, Patih
Muhur, Patih Balitung, dan Patih Kuin untuk berunding. Mereka bersepakat
mencari Pangeran Samudera di tempat persembunyiannya untuk dinobatkan
menjadi raja, memenuhi wasiat Maharaja Sukarama.
Dengan
diangkatnya Pangeran Samudera menjadi raja dan Bandar Masih sebagai
pusat kerajaan sekaligus bandar perdagangan, semakin terdesaklah
kedudukan Pangeran Tumenggung. Apalagi para patih tidak mengakuinya lagi
sebagai raja yang sah. Mereka pun tidak rela menyerahkan upeti kepada
Pangeran Tumenggung di Nagara Daha.
Pangeran
Tumenggung tidak tinggal diam menghadapi keadaan itu. Tentara dan
armada diturunkannya ke Sungai Barito sehingga terjadilah pertempuran
besar-besaran. Peperangan berlanjut terus, belum ada kepastian pihak
mana yang menang. Patih menyarankan kepada Pangeran Samudera agar minta
bantuan ke Demak. Konon menurut Patih Masih, saat itu Demak menjadi
penakluk kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa dan menjadi kerajaan terkuat
setelah Majapahit.
Pangeran Samudera
pun mengirim Patih Balit ke Demak. Demak setuju nnemberikan bantuan,
asalkan Pangeran Samudera setuju dengan syarat yang mereka ajukan, yaitu
mau memeluk agama Islam. Pangeran Samudera bersedia menerima syarat
itu. Kemudian, sebuah armada besar pun pergi menyerang pusat Kerajaan
Nagara Daha. Armada besar itu terdiri atas tentara Demak dan sekutunya
dari seluruh Kalimantan, yang membantu Pangeran Samudera dan para patih
pendukungnya. Kontak senjata pertama terjadi di Sangiang Gantung.
Pangeran Tumenggung berhasil dipukul mundur dan bertahan di muara Sungai
Amandit dan Alai. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Panji-panji
Pangeran Samudera, Tatunggul Wulung Wanara Putih, semakin banyak
berkibar di tempat-tempat taklukannya.
Hati
Arya Terenggana, Patih Nagara Dipa, sedih melihat demikian banyak
korban rakyat jelata dari kedua belah pihak. Ia mengusulkan kepada
Pangeran Tumenggung suatu cara untuk mempercepat selesainya peperangan,
yakni melalui perang tanding atau duel antara kedua raja yang bertikai.
Cara itu diusulkan untuk menghindari semakin banyaknya korban di kedua
belah pihak. Pihak yang kalah harus mengakui kedaulatan pihak yang
menang. Usul Arya Terenggana ini diterima kedua belah pihak.
Pangeran
Tumenggung dan Pangeran Samudera naik sebuah perahu yang disebut
talangkasan. Perahu-perahu itu dikemudikan oleh panglima kedua, belah
pihak. Kedua pangeran itu memakai pakaian perang serta membawa parang,
sumpitan, keris, dan perisai atau telabang.
Mereka
saling berhadapan di Sungai Parit Basar. Pangeran Tumenggung dengan
nafsu angkaranya ingin membunuh Pangeran Samudera. Sebaliknya, Pangeran
Samudera tidak tega berkelahi melawan pamannya. Pangeran Samudera
mempersilakan pamannya untuk membunuhnya. Ia rela mati di tangan orang
tua yang pada dasarnya tetap diakui sebagai pamannya.
Akhirnya,
luluh juga hati Pangeran Tumenggung. Kesadarannya muncul. la mampu
menatap Pangeran Samudera bukan sebagai musuh, tetapi sebagai
keponakannya yang di dalam tubuhnya mengalir darahnya sendiri. Pangeran
Tumenggung melemparkan senjatanya. Kemudian, Pangeran Samudera dipeluk.
Mereka bertangis-tangisan.
Dengan
hati tulus, Pangeran Tumenggung menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran
Samudera. Artinya, Nagara Daha ada di tangan Pangeran Samudera. Akan
tetapi, Pangeran Samudera bertekad menjadikan Bandar Masih atau Banjar
Masih sebagai pusat pemerintahan sebab bandar itu lebih dekat dengan
muara Sungai Barito yang telah berkembang menjadi kota perdagangan.
Tidak hanya itu, rakyat Nagara Daha pun dibawa ke Bandar Masih atau
Banjar Masih. Pangeran Tumenggung diberi daerah kekuasaan di Batang Alai
dengan seribu orang penduduk sebagai rakyatnya. Nagara Daha pun menjadi
daerah kosong.
Sebagai seorang raja
yang beragama Islam, Pangeran Samudera mengubah namanya menjadi Sultan
Suriansyah. Hari kemenangan Pangeran Samudera atau Sultan Suriansyah, 24
September 1526, dijadikan hari jadi kota Banjar Masih atau Bandar
Masih.
Karena setiap kemarau landang
(panjang) air menjadi masin (asin), lama-kelamaan nama Bandar Masih atau
Banjar Masih menjadi Banjarmasin.
Akhirnya,
Sultan Suriansyah pun meninggal. Makamnya sampai sekarang terpelihara
dengan baik dan ramai dikunjungi orang. Letaknya di Kuin Utara, di
pinggir Sungai Kuin, Kecamatan Banjar Utara, Kota Madya Daerah Tingkat
II Banjarmasin.
Setiap tanggal 24
September Wali Kota Madya Banjarmasin dan para pejabat berziarah ke
makam itu untuk memperingati kemenangan Sultan Suriansyah atas Pangeran
Tumenggung. Sultan Suriansyah adalah sultan atau raja Banjar pertama
yang beragama Islam.
Kisah Naga di Sungai Kandangan Hulu Sungai Selatan (Kalimantan Selatan)
kisah
ini berasal dari masyarakat kota Kandangan Kabupaten Hulu Sungai
Selatan Provinsi Kalimantan Selatan, Masyarakat disana rata-rata hampir
mengetahui kisah keberadaan sang Naga penghuni sungai Kandangan. Penulis
sendiri lahir di desa Simpur kota Kandangan, sehingga sedikit banyak
mengetahui kisah tersebut, dan ingin berbagi cerita kepada teman-teman
semua untuk lebih mengenal kisah daerah langsung dari Kota Kandangan.
Konon
di sungai Kandangan , dulu ada sebuah jembatan gantung dan dibawahnya
dipercaya ada sebuah liang Naga, sehingga tidak ada satupun tiang
jembatan yang bisa dibangun sampai sekarang, dan konon juga air sungai
tersebut tidak pernah kering.
Kisah ini bermula, ada sepasang suami istri yang ketika itu mencari ikan di sungai dengan cara tradisional yaitu “tangguk”, mereka menangguk ikan-ikan tersebut untuk keperluan hidup sehari-hari.
Namun
suatu ketika, mereka mendapatkan dua butir telur yang sangat besar,
mereka kebingungan karena itu jelas bukan telur yang wajar. Mereka
membuang telur itu dan pindah ketempat lain untuk encari ikan, tapi apa
yang didapat? Ternyata itu dua butir telur yang serupa, sungguh aneh
tapi karena bujukan/rayuan sang istri sebab hari itu mereka tidak
mendapatkan ikan, maka telur tersebut akhirnya dibawa pulang kerumah,
dan berniat untuk memakannya saat malam hari, tanpa memberitahukan anak
mereka.
Saat
malam hari, sepasang suami istri tersebut merebus dua butir telur itu
dan memakannya tanpa fikir panjang, tiba-tiba setelah memakan telur itu,
seluruh tubuh mereka tumbuh sisik dan membesar sehingga rumah mereka
tidak sanggup menahan pertumbuhan tubuh mereka, kemudian pintu depan
rumah mereka dihancurkan untuk keluar dan meloloskan diri, dengan tali blaran mereka langsung pergi kesungai, dan pada saat itu banyak masyarakat sekitar mengetahui peristiwa itu termasuk anak mereka.
Mereka
menjadi siluman jadi-jadian, namun disungai tersebut masih ada satu
kehidupan yaitu naga asli yang menghuni, akhirnya naga tersebut terjadi
perselisihan antara naga jadi-jadian, memperebutkan alam mereka
masing-masing, naga asli menantang duel apabila kalah maka akan pergi
jauh meninggalkan sungai tersebut untuk selamanya.
Setelah
itu naga sepasang suami istri tersebut, meminta anaknya untuk dibuatkan
tanduk seperti naga asli, dan berpesan kepada anaknya kalau dalam
pertarungan seandainya darah berwarna biru yang keluar itu berarti naga
yang asli kalah tapi apabila darah tersebut berwarna merah berarti orang
tuanya kalah, akhirnya waktu duel pun terjadi, dan darah yang keluar
ternyata berwarna merah, maka dapat diketahui pemenangnya adalah naga
yang asli, maka sesuai perjanjian naga yang kalah akan pergi jauh
meninggalkan tempat itu.
Sabtu, 04 Februari 2012
Kamis, 02 Februari 2012
Senin, 30 Januari 2012
ulun handak jadi kaini jua wan pian
mudahan ulun wn pian kaini jua pasti ulun bahagia banar amiiin |
Sebuah do'a telah terjawab, rahasia besar telah terkuak
suatu perjumpaan awal, membawamu pada sebuah akad
kerja keras, doa dan air mata mengiringi penantian yang panjang
waktunya telah tiba panjatkan doa kepadaNya
teriring bahagia dariku, untukmu teman sejatiku
lepas sudah beban berat yang begitu melelahkan
Sebuah akad telah terucap, transaksi suci telah terikrar
Mohonlan kepadaNya Sebuah keluarga sakinah mawaddah warohmah
Layar telah dikembangkan perahu siap berlayar
Mengarungi samudera kehidupan bersiaplah hadapi ombak
Laut ta' selamanya ramah hidup ta' selamanya nyaman
Tegarkanlah hati saat cobaan menerpa
Bersyukurlah atas apa-apa yang telah Allah berikan
Mungkin akan ada kerikil, manakala kita berjalan
Ingatlah cita-cita, harapan dan tujuan semula saat badai datang menerpa
Barokalloohu laka wabaroka 'alayka wajama'a baynakuma filkhairin
Selamat atas rizqy yang telah Allah berikan
Semoga semuanya bisa lebih menguatkan
Mudah-mudahan kalian berdua diberkahi Allah, dan jadi tim yang tangguh di jalanNya.
Aamiin...aamiin yaa rabbal aalamiin
Kehidupan baru akan segera dimulai
Bersabarlah atas apa-apa yang terasa berat
Manfaatkanlah waktu sebaik-baiknya
Kasihilah orang-orang di sekeliling dengan tulus
Ekspresikan perasaan kita, hingga orang akan mengerti
Apa yang kita harapkan dan inginkan
Hidup itu berirama, ada kalanya kita menangis, kadang kita tertawa bahagia
Sharing-lah apapun yang kita rasakan, sharing-lah...dengan suami juga sahabat
suatu perjumpaan awal, membawamu pada sebuah akad
kerja keras, doa dan air mata mengiringi penantian yang panjang
waktunya telah tiba panjatkan doa kepadaNya
teriring bahagia dariku, untukmu teman sejatiku
lepas sudah beban berat yang begitu melelahkan
Sebuah akad telah terucap, transaksi suci telah terikrar
Mohonlan kepadaNya Sebuah keluarga sakinah mawaddah warohmah
Layar telah dikembangkan perahu siap berlayar
Mengarungi samudera kehidupan bersiaplah hadapi ombak
Laut ta' selamanya ramah hidup ta' selamanya nyaman
Tegarkanlah hati saat cobaan menerpa
Bersyukurlah atas apa-apa yang telah Allah berikan
Mungkin akan ada kerikil, manakala kita berjalan
Ingatlah cita-cita, harapan dan tujuan semula saat badai datang menerpa
Barokalloohu laka wabaroka 'alayka wajama'a baynakuma filkhairin
Selamat atas rizqy yang telah Allah berikan
Semoga semuanya bisa lebih menguatkan
Mudah-mudahan kalian berdua diberkahi Allah, dan jadi tim yang tangguh di jalanNya.
Aamiin...aamiin yaa rabbal aalamiin
Kehidupan baru akan segera dimulai
Bersabarlah atas apa-apa yang terasa berat
Manfaatkanlah waktu sebaik-baiknya
Kasihilah orang-orang di sekeliling dengan tulus
Ekspresikan perasaan kita, hingga orang akan mengerti
Apa yang kita harapkan dan inginkan
Hidup itu berirama, ada kalanya kita menangis, kadang kita tertawa bahagia
Sharing-lah apapun yang kita rasakan, sharing-lah...dengan suami juga sahabat
ceritaTelaga Bidadari
foto telaga bidadari |
Disuatu daerah dihuni seorang lelaki
tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri dan tidak mempunyai
istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu, ia
bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling.
Lagu-lagunya menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.
Awang
Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan
burung-burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang
sudah dimasak dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah
bambu yang sudah diberi getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di
sela-sela tangkai bunga. Ketika burung hinggap, kepak sayapnya akan
melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin erat sayapnya
melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama
bilah-bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke
dalam keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang.
Konon itulah sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu
Suling dan Datu Pulut.
Akan
tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada
burung dan tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga
Iimau yang sedang merekah.
“Heran,”
ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga
burung-burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus
asa. Sambil berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan
lagu-lagu indah melalui tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia
lakukan sambil menjaga pulutnya mengena. Sebenarnya dengan meniup
suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan irama
suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati.
Konon, Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.
Awang
Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang
dan suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.
Entah
berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan
suara hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada
penglihatannya. Matanya diusap-usap.
Ternyata,
ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa
mereka bersembur-semburan air.
“Aku
ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari
tempat untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang
diintip.
Dari tempat
persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan
tajamnya menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian
mereka yang bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai
alat untuk menerbangkan mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke
kediaman mereka di kayangan. Tentulah mereka bidadari yang turun ke
mayapada.
Puas bersembur-semburan
di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi telaga.
Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain
sehingga tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian
salah seorang putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam
sebuah bumbung (tabung dari buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu
disembunyikannya dalam kindai (lumbung tempat menyimpan padi).
Ketika
ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang
di antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu
membuat mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri
bungsu, kebetulan paling cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat
terbang kembali ke kayangan.
Kebingungan,
ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat
itu, Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.
“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara bersama hamba.”
Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama Awang Sukma.
Awang
Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan
yang amat serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan
kelemahlembutan, dalam ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka
adalah seorang putri yang diberi nama Kumalasari. Wajah dan kulitnya
mewarisi kecantikan ibunya.
Rupanya
memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi
ini. Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium
baunya. Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah
sehabis bekerja. Istrinya duduk di samping buaian putrinya yang juga
tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam hitam naik ke atas lumbung.
Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung sambil berkotek
dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.
Putri
bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di
bekas kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena
ingin tahu isinya. Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung
itu.
“Ternyata, suamiku yang
menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang bersama
kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.
Perasaan
putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa
cinta kepada suaminya.
“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.
Kemudian,
putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong
putrinya yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya
sepuas-puasnya sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan
anak itu membuat Awang Sukma terjaga.
Awang
Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah
ia bahwa saat perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.
“Adinda
harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita,
Kumalasari. Jika ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji
kemiri, masukkan ke dalam bakul. Lantas, bakul itu Kanda
goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu denganngan suling Kanda.
Adinda akan datang menjumpainya.”
Putri
bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan
putri tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun
kerinduan kepada istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin
bersatu seperti sedia kala. Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada
Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma bersumpah dan melarang
keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap membawa petaka
bagi dirinya.
Telaga yang
dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan
Sungai Raya, delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten
Hulu Sungai Selatan Propinsi Kalimantan Selatan.
Sampai
sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak
ada penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang
Sukma yang bergelar Datu Pulut dan Datu Suling. .....by alfi saya asl iorg telaga bidadari
Minggu, 29 Januari 2012
setia
Tetesan air hujan adalah bukti
Seperti halnya bintang yang selalu setia pada bulan
Sebuah cinta dari langit kepada bumi
Sedangkan kesetiaan adalah bukti cintaku padamu
Seperti halnya bintang yang selalu setia pada bulan
Untuk berjanji menghias sang malam dengan sinarnya
Dan seperti itu pula kesetiaanku padamu....
Kesetiaan atas cinta ini kepadamu...Sabtu, 28 Januari 2012
* alfi bukan pujangga cinta
Satu bunga yg ku punya
Kan ku sirami dgn cinta
Agar wanginya tebarkan aroma
harumnya...
Kan ku jaga bunga dari kumbang yg
mnngoda...
*Wahai sang pujangga....
Jangan hempaskan nafas kepiluan
Jangan kau renggut kebahagiaan
Namun berikan setitik harapan
*Oh cinta..
Berikan ku sebuah jawaban yg ku
nantikan...
Bukan batu karang yg kurisaukan
Namun cinta yg dipertanggung
jawabkan.,,
*Oh Tuhan..
Berikan aku kisah yg sempurna
Agar aku bisa mndapatkn cinta yg sesungguhnya
Jumat, 27 Januari 2012
di saat aq kangen sama km
ada gelap ditepi fajar aku
yg hening brslimut kabut di malam haru
aku yg sllu brsma'y menanti hadirmu..
tak perduli galau berirama sendu....
yg selalu mengalun mngisi dekap krinduanku:......
Kamis, 26 Januari 2012
bertahan demi cinta
Apa yang kau lihat selama ini
dariku…. Apakah kau tak pernah melihat
cintaku yang tulus kepada untukmu
ini… Aku tak bisa untuk membohongi
perasaan yang selalu ada di hati
ini,perasaan cinta yang hanya ku berikan untukmu. Semua telah aku berikan untuk
meyakinkan mu,aku selalu
mengalah demi cinta meskipun
mengalah ini membuat aku
menderita dan menyakitkan.aq berdoa kpd allah utk memberikan aq kekuatan saat aku bertahan demi cinta
ini,agar aku tak pernah lelah mencintaimu yang selalu ADA d hari''ku. Semoga allah menjdikanmu jodohku utk yg pertama & terakhir kalinya
Selasa, 24 Januari 2012
Senin, 23 Januari 2012
Langganan:
Postingan (Atom)