Rabu, 15 Februari 2012

Balai Emas dan Batu Beranak

Cerita Masyarakat Desa Pantai Ulin Kecamatan Simpur Kabupaten Hulu Sungai Selatan; Datu Ulin

Kabupaten Hulu Sungai Selatan berjarak sekitar 145 kilometer dari Banjarmasin dan kota Kandangan sebagai ibukotanya. Di wilayah ini, tepatnya di kecamatan Simpur, terdapat sebuah desa yang dinamakan desa Pantai Ulin. Entah kenapa dinamakan dengan nama tersebut, menurut hemat saya mungkin dulu daerah ini memang awalnya pantai, atau kata “pantai” diartikan sebagai daerah yang kaya akan sesuatu (daerah yang kaya akan ulin atau kayu besi) karena ada juga daerah di Hulu Sungai yang diberi nama pantai, seperti Pantai Hambawang.
Di desa ini berkembang sebuah cerita yang mengisahkan kesaktian tokoh yang mereka percayai masih hidup di alam lain yaitu Datu Ulin. Datu Ulin dipercaya sering muncul pada saat upacara syukuran yang di adakan di desa setiap setelah selesai panen. Upacara syukuran ini masih diadakan sampai sekarang. Menurut penuturan Camat Simpur dan beberapa warga, setiap syukuran dilaksanakan, pesertanya selalu membludak, padahal warga yang diundang hanya berasal dari desa-desa yang bersebelahan dengan desa Pantai Ulin, yang apabila dihitung-hitung jumlah tidak sampai sepuluh ribu orang, akan tetapi yang hadir malah lebih dari itu. Sisa peserta yang sedemikian banyaknya tersebut dipercaya berasal dari alam gaib, alias mahluk halus.
Menurut cerita, dahulu ada sebuah pohon ulin (kayu besi) yang tumbuh dengan subur, lebat, dan batangnya sangat besar. Di pohon inilah kemudian hinggap seekor burung yang sangat besar. Karena pohon tersebut sangat besar, burung ini pun sangat senang berada di sana, mudah mencari makan dan dapat mengawasi wilayah yang ada di sekitarnya. Di sini lah dimulainya sebuah bencana besar. Burung tersebut mulai memakan manusia yang ada di sekitar desa, lambat tapi pasti. Selain itu, kepakan sayap si burung menimbulkan angin deras yang dapat menerbangkan pohon, rumah, dan apa saja yang ada di sekitarnya. Warga desa menjadi takut dibuatnya. Setelah menjalani sebuah pembicaraan, mereka setuju untuk bergotong royong menebang pohon ulin karena hanya itu jalan satu-satunya agar burung ganas dapat diusir.
Waktu yang telah disepakati untuk menebang pohon tersebut pun tiba. Orang-orang mulai mengeluarkan parang mereka dan berusaha menebang pohon ulin. Tapi apalah daya, karena sudah terlalu tua, pohon tadi sangat sulit untuk ditebang, jangan kan untuk memotong, melukai batangnya pun sangat sulit. Setelah beberapa lama, parang dan segala alat pemotong pun habis, karena patah dan sudah tidak dapat digunakan lagi.
Mereka bertambah gusar, semuanya terdiam, memikirkan cara bagaimana memotong pohon tersebut. Salah seorang warga tiba-tiba mendengar burung tinjau (murai) yang berbunyi “kuit cau, kuit cau”. Warga tersebut tiba-tiba mendapat ilham. Ia mengartikan suara burung tersebut dengan “kuit (congkel) dengan pisau”. Ia pun pulang dan mengambil pisau kecilnya di rumah. Setelah kembali, para warga desa menertawakannya, mengapa tidak, jangankan pisau, bahkan parang yang sangat besar saja tidak dapat berbuat banyak. Ia tidak menghiraukan ocehan mereka, ia tetap melakukan apa yang dipercayanya untuk dapat menumbangkan pohon tersebut.
Ternyata apa yang diyakininya itu terbukti! Dengan sekali congkel di bagian akar dengan menggunakan pisau tadi, pohon ulin yang besar dapat tumbang. Warga desa terkejut tidak percaya dengan apa yang mereka saksikan. Mereka menghampiri dan menyanjung. Warga yang berhasil menumbangkan pohon ulin tersebut kemudian diberi gelar sebagai Datu Ulin.
Pohon ulin tersebut dipercaya oleh masyarakat Pantai Ulin tumbang sampai ke Marabahan. “Marabahan tu bakas karabahan pohon ulin, makanya dingarani urang Marabahan” kata beberapa orang tua di sana.
Cerita tadi mungkin hanya sebuah dongeng, tapi masyarakat di desa Pantai Ulin mempercayainya sebagai kenyataan. Salah satu tokoh pemuka bahkan memiliki bukti berupa beberapa bekas potongan parang yang patah akibat pohon ulin tersebut dan sebuah pisau yang merupakan alat yang digunakan untuk mencongkel pohon ulin tadi. Kata beberapa orang warga,

Minggu, 12 Februari 2012

Kisah Kayu Ulin dan Naga Kembar dari Pulau Kaget

Banjarmasin - Fenomena naga memang binatang khas yang identik dengan keberadaan etnis Tionghoa, termasuk juga di tanah air. Proses asimilasi kultur yang berlangsung lama di tanah air ini juga melahirkan cerita naga.

Salah satu legenda naga yang diwariskan turun temurun adalah kisah "Naga Kembar di Pulau Kaget", sebuah pulau yang terletak di sebuah delta di tengah-tengah sungai Barito, termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Tabunganen, Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Pulau Kaget ini terletak dekat muara sungai Barito dan merupakan pulau cagar alam yang ditetapkan berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 788/Kptsum11/1976 dengan luas 85 Ha.

Kondisi alam pulau ini cukup kritis karena adanya penebangan pohon, khususnya pohon rambai padi yang merupakan sumber makanan bagi bekantan (Nasalis Larvatus), sejenis kera hidung panjang yang merupakan maskot fauna provinsi Kalimantan Selatan.

Seperti dilansir dari berangja.blogspot, begitu juga cerita di blog lainnya, pulau kaget ini juga memiliki kisah yang melegenda terkait keberadaan pulau.  Diceritakan bahwa pada zaman dahulu kala ada dua orang bersaudara kembar yang bernama Sutakil dan Sutakul.

Keduanya tengah berada di Pulau Kaget untuk menebang empat batang kayu ulin yang tumbuh di pulau angker tersebut. Ketika itu keduanya telah berhasil menebang tiga batang kayu ulin dan tengah menyelesaikan penebangan kayu ulin yang keempat.

Konon dalam ceritanya, kayu ulin yang keempat ini sangat sulit ditebang, batangnya sangat besar dan sangat keras. Sudah satu minggu Sutakil dan Sutakul menebangnya, tapi kayu ulin dimaksud belum juga berhasil ditumbangkan. Sutakil dan Sutakul menjadi penasaran tapi keduanya sudah bertekad pantang menyerah.

Kayu ulin yang mereka tebang ketika itu sesungguhnya bukan kayu ulin biasa, getah yang keluar dari bekas tebangannya berwarna merah dan mengeluarkan bau anyir persis seperti darah.

Dari kisah ini, suatu ketika Sutakil iseng-iseng melemparkan potongan kayu ulin bekas tebangannya itu ke dalam perapian. Muncul keanehan yang cukup mengagetkan, dari sana keluar bau gurih seolah dari daging yang terpanggang.

Sutakil yang merasa penasaran kemudian mengambil potongan kayu ulin yang terbakar itu, kemudian mencicipi atau mencecapkan rasanya di lidah, ternyata potongan kayu ulin dimaksud terasa lezat persis seperti daging panggang pada umumnya. Begitulah, sejak saat itu Sutakil dan Sutakul menjadikan bekas tebangan pohon ulin dimaksud sebagai lauk-pauk teman makan nasi mereka.

Namun akibatnya ulah saudara kembar ini, sungguh fatal, ketika suatu pagi setelah bangun, keduanya tiba-tiba berubah wujud menjadi dua ekor naga. Ternyata bekas tebangan kayu ulin yang mereka makan sebagai daging panggang dimaksud tidak lain adalah potongan tubuh dari seekor naga jelmaan.

Dari sinilah legenda dua pulau kembar dari pulau kaget ini berada. Karena kekagetan dua saudara kembar ini yang konon kemudian menjelma enjadi ular, sehingga pulau ini juga disebut pulau kaget.

Konon, menurut pandangan mata batin sejumlah paranormal di kota Banjarmasin, naga kembar jelmaan dari Sutakil dan Sutakul yang dimaksud hingga sekarang masih menjadi penunggu tetap Pulau Kaget yang angker itu. Pulau Kaget sendiri terletak di tengah-tengah Sungai Barito dan kini dikenal sebagai salah satu obyek wisata andalan daerah Kalimantan selatan.

Sebuah eindahan panorama yang berbalut legenda dan tradisi yang hampir terjadi di setiap daerah di nusantara yang kaya ini. Legenda yang juga menunjukkan bahwa cerita naga ini menjadi bagian dari kedekatan orang Tionghoa dengan masyarakat Banjar yang juga sudah lama sejak dulu.

Legenda ini juga memberi pesan bahwa jangan menebang pohon, menggunduli hutan tanpa perhitungan dan upaya memelihara dan reboissasi, akibatnya pasti fatal dan merugikan masyarakat itu sendiri, termasuk kayu ulin yang merupakan kayu keras dan kuat andalan hutan kalimantan ini.

KISAH DARI BANJAR 1 Habib Hamid bin Abbas Bahasyim (Basirih)

Jumlah pengunjung di Kubah Habib Basirih walau belum dapat dibandingkan dengan makam Sunan Ampel di Ampel, Surabaya tak mengurangi ketokohan beliau. Sunan Ampel adalah tokoh utama Wali Songo, sebuah dewan (forum) ulama kelas wahid di zaman Kesultanan Demak. Dari segi usia, Sunan Ampel lebih tua dan lebih sepuh dari Habib Basirih yang hidup di masa yang lebih muda. Habib Basirih hidup di zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Sunan Ampel hidup sekitar 400 tahun sebelum Habib Basirih. Yang mempertemukan keduanya adalah mereka sama-sama keturunan dari Waliyullah Muhammad Shahib Mirbath (keturunan generasi ke-16 dari Rasulullah Muhammad SAW). Silsilah kedua tokoh ini bertemu di Alwi Umul Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Sunan Ampel dari jalur putra Alwi Umul Faqih yang bernama Abdul Malik (yang hijrah dari Tarim, Hadramaut, Yaman ke India) sedang Habib Basirih dari jalur putra Alwi yang bernama Abdurrahman. Jika Sunan Ampel adalah keturunan ke-23 dari Rasulullah Muhammad SAW, maka Habib Basirih merupakan keturunan ke-36.
Nasab Habib Basirih adalah sebagai berikut: Hamid bin Abbas bin Abdullah bin Husin bin Awad bin Umar bin Ahmad bin Syekh bin Ahmad bin Abdullah bin Aqil bin Alwi bin Muhammad bin Hasyim bin Abdullah bin Ahmad bin Alwi bin Ahmad AlFaqih bin Abdurrahman bin Alwi Umul Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath.Leluhur Bahasyim di Banjar adalah Habib Awad bin Umar. Habib Awad bin Umar adalah keturunan ke-32 dari Rasulullah Muhammad SAW. Tak ada keterangan jelas perihal asal usul dan di mana Habib Awad tinggal selama hidupnya. Apakah beliau kelahiran Hadramaut (Yaman) atau ada pendahulunya yang berdiam di salah satu daerah di negeri ini dan kemudian hijrah ke nusantara.
Satu versi menyebut Habib Awad masuk ke Banjar lewat Sampit, Kalteng. Keterangan anggota keluarga Bahasyim lainnya menyebut bahwa Habib Awad bermakam di Bima, Nusa Tenggara Barat. Oleh karena itu antara Bahasyim di Banjar dengan Bahasyim di Bima ada pertalian persaudaraan. Satu versi lain menyebutkan bahwa salah satu cucu Habib Awad bin Umar ada yang hijrah ke Bima dan kemudian menurunkan keluarga besar Bahasyim di Bima. Tapi sebagian besar anggota keluarga Bahasyim berpandangan bahwa Habib Awad adalah Bahasyim tertua (paling awal) yang datang ke Tanah Banjar (Lihat Mata Banua, 8 Agustus: Kisah Para Penebang Kayu Trah Bahasyim Basirih).
Selain dapat ditempuh lewat jalan darat (ada rute trayek angkutan kota/taksi kuning yang melintasi dan menuju Kubah Habib Basirih), peziarah juga dapat mengunjungi petilasan Basirih lewat jalur sungai. Belum ada biro perjalanan wisata yang menggarap rute alternatif via jalan sungai ini sebagai bagian dari paket wisatanya. Sebelum mencapai Kubah Habib Basirih, beberapa ratus meter sebelumnya terdapat pula makam ibu beliau yakni Syarifah Ra’anah. Makam Habib Basirih dan ibundanya masuk dalam daftar inventaris binaan Dinas Pariwisata Kota Banjarmasin. Keduanya digolongkan sebagai objek wisata religius (spiritual) yang layak dikunjungi. Makam Habib Abbas bin Abdullah Bahasyim, suami Syarifah Ra’anah dan ayahanda Habib Basirih justru tak diketahui keberadaannya hingga kini.
Beberapa pihak menduga makam beliau berkumpul di pemakaman habaib di Basirih seberang sungai di dekat Masjid Jami Darut Taqwa Kelurahan Basirih, Banjar Selatan. Masjid ini menurut keterangan didirikan tahun 1822 oleh H Mayasin. Pada tahun 1848 keluarga Habib Basirih pernah merehab masjid ini.Versi lain mengatakan Habib Abbas bermakam di wilayah Sungai Baru. Habbis Abbas dikenal sebagai saudagar kaya raya dan mempunyai kapal dagang. Beliau juga disebut-sebut mempunyai tanah yang cukup luas di wilayah Basirih di samping di Sungai Baru (kini nama sebuah kelurahan di sekitar Jalan A Yani dan Jalan Pekapuran).
Nama Basirih bersinar tak lepas dari sosok Habib Hamid. Beliau pernah berkhalwat (mengurung diri dan melakukan sejumlah amalan) sekian tahun di dalam sebuah rumah (gubuk) kecil tak jauh dari makamnya sekarang. Pada zaman Jepang, Habib Hamid keluar dari pertapaannya. Sejumlah kelakuan aneh beliau belakangan dipahami sebagai pekerjaan kewalian beliau menyelamatkan orang lain. Suatu kali, misalnya, dengan menggunakan gayung, Habib Hamid memindahkan air dari satu tempat ke tempat lain. Orang-orang menilai pekerjaan itu sebagai perbuatan tak bermakna. Padahal, itu adalah cara Habib Hamid menyelamatkan kapal penumpang yang nyaris karam di lautan luas. Sebab di belakang hari ada orang datang ke rumah beliau dan mengucapkan terima kasih atas pertolongan Habib Basirih waktu kapal mereka hampir karam di tengah laut.
Perbuatan Habib Hamid lainnya yang spektakuler adalah menghidupkan kambing mati. Suatu hari, seorang tetangga mengatakan kepada beliau bahwa di batang (rakitan kayu gelondongan di atas sungai yang dapat berfungsi untuk tempat mandi dsbnya) milik Habib Basirih terdapat bangkai kambing yang sudah membusuk. Bersama Habib Hamid, tetangga itu turun ke batang untuk membuktikan penglihatannya. Tetangga itu kaget ketika matanya menatap seekor kambing hidup terikat di batang Habib Hamid.Ulah Habib Hamid lainnya adalah beliau pernah duduk di atas tanggui (penutup kepala berbentuk bundar terbuat dari daun nipah) menyeberangi Sungai Basirih menengok keponakannya Habib Ahmad bin Hasan bin Alwi bin Idrus Bahasyim (Habib Batillantang).
“Waktu kecil saya pernah diberi gulungan benang layang-layang,” ujar Habib Abdul Kadir bin Ghasim bin Thaha Bahasyim, 86 tahun. Gulungan benang layang-layang itu kemudian dipahami oleh Habib Abdul Kadir sebagai perjalanan hidupnya yang sepanjang tali benang layang-layang. HabibAbdul Kadir bekerja di kapal dagang dan berlayar mengarungi berbagai penjuru wilayah pedalaman Kalimantan.Beberapa wanita tua di Basirih mengungkapkan pernah diajak orangtuanya berziarah ke Habib Basirih ketika beliau hidup untuk minta ‘berkah’. Beberapa orang tua meminta air kepada Habib Basirih dengan hajat agar anak-anak mereka pandai mengaji. Setalah diberi ‘air penenang’ anak-anak kecil mereka pun lancar membaca Kitab Suci AlQur’an.
Kisah lainnya, beberapa pria dari atas perahu melintas di depan batang Habib Basirih. Mereka mengolok-olok Habib Basirih ketika beliau sedang mandi di atas batang. Gerak-gerik Habib Basirih yang ganjil menyulut mereka mengeluarkan ucapan yang kurang pantas. Tiba-tiba, perahu mereka menabrak tebing sisi sungai dan kandas. Cerita lainnya, yang masyhur beredar di Basirih, seorang pedagang ikan berperahu menolak panggilan singgah Habib Hamid. Si pedagang berpikir tak mungkin Habib Basirih membayar dagangannya. Akibatnya, selama satu hari penuh tak satupun barang jualan pedagang ikan tersebut ada yang laku. Sementara pedagang lainnya yang menghampiri panggilan Habib Basirih, berkayuh menuju rumah lebih cepat sebab dagangannya hari itu tak bersisa.
Habib Hamid banyak mengungkapkan sesuatu dengan bahasa perlambang (isyarat). Hanya segelintir orang yang paham dengan perkataannya. Suatu hari datang seorang Jepang menemui Habib Basirih. Si Jepang kemudian berjanji setelah urusannya di Makasar selesai akan kembali membawa Habib Basirih ke rumah sakit jiwa. “Pesawat orang Jepang itu jatuh dalam perjalanan ke Makassar,” ujar Syarifah Khadijah binti Habib Hasan Bahasyim, 70 tahun, cucu Habib Basirih.“Selesai berkhalwat di sebuah rumah kecil, Habib Basirih naik ke rumah ini,” ujar Syarifah Khadijah. Kenang-kenangan fisik yang tersisa dari Habib Basirih yang bisa disaksikan adalah foto beliau bersama anak cucunya pada tahun 1949, beberapa waktu sebelum beliau berpulang ke rahmatullah. “Waktu ditawari difoto Habib Basirih cuma tersenyum, menolak tidak, mengiyakan tidak. Tukang fotonya namanya Beng Kiang,” tutur Syarifah Khadidjah.

Asal Mula Kuda Gipang Banjar

Kuda gipang Banjar nitu tamasuk kasanian banua Banjar nang maambil carita wayang Mahabrata, nang kisahnya, baupacara bakarasmin bakakawinan. Nang dikawinakan saikung Pandawa Lima, Bima lawan Dewi Arimbi, anak Sang Hiang Parabu Kisa, asal Nagara Sura Paringgadani.
Wadah patataian pangantin Bima lawan Dewi Arimbi nitu diulahakan Balai Sakadumas, diramiakan tuntunan tatarian lawan gagamalan nang bangaran tapung tali, luntang, kijik, kudak, lagurih lawan parabangsa.
Gagamalannya wayah dahulu ada kulung-kulung, babun lawan agung. Wayah hini sarun, daun lawan kanung. Manurut kisah, kuda gipang nang dipimpin ulih sikung raja, baisi anak buahnya nang bangaran Raden Arimba, Braja Kangkapa, Braja Santika, Braja Musti, Braja Sangatan, Braja Danta, ditambah lawan bubuhan punggawa lainnya. Samunyaan pasukan nitu sampai sapuluh atawa labih bubuhan prajurit anak buahnya.
Kuda-kudanya kada hingkat ditunggang. Sababnya raja nitu urang nang sakti. Amun kudanya ditunggang, maka kuda nitu jadi rabah sampai lumpuh. Asal usulnya tapaksa kuda nitu dikapit di bawah katiak, ada kisahnya pada wayah dahulu. Dangarakan kisahnya.
Nagara Dipa nang rajanya bangaran Pangeran Suryanata nitu sudah katahuani urang sampai ka mana-mana. Urang nagri Cina nang jauh nitu gin sudah tahu jua, salawas Ampu Jatmika minta diulahakan patung gangsa gasan diandak di Nagara Dipa. Wayah nitu disuruh Wiramartas maurus pasanan baulah patung gangsa ka nagri Cina.
Mangkubumi Lambung Mangkurat sudah takanal banar jua, sampai kaluar banua. Urang mandangar Lambung Mangkurat nitu mangkubumi karajaan Nagara Dipa nang paling wani, gagah, taguh, dihurmati ulih samunyaan urang.
Karajaan Majapahit nang ada di Jawa sudah lawas jua ada bahubungan lawan Nagara Dipa. Malahan bahubungan nitu tamasuk tutus rajanya, nang asal usulnya Pangeran Suryanata nitu anak tapaan raja Majapahit.
Pada suati hari, Lambung Mangkurat dapat undangan tumatan raja Majapahit di jawa. Maksudnya maundang gasan marakatakan hubungan karajaan Majapahit lawan karajaan Nagara Dipa.
Wayya ari nang ditantuakan nitu, maka barangkat, tulakan Lambung Mangkurat mambawa kapal si Parabayaksa, kapal karajaan nagara Dipa nang ganal nitu.
Limbah Lambung Mangkurat malapur lawan raja Pangeran Suryanata, kapal nitu balayar manuju pulau Jawa. Umpat jua di situ hulubalang Arya Magatsari lawan Tumanggung Tatahjiwa. Kada tatinggal bubuhan pangawal kaamanan Singabana, Singantaka, Singapati lawan anak buah kapal si Parabayaksa.
Salawasan dalam parjalanan di Laut Jawa, kapal karajaan nitu balayar laju, kadada halangan nangapa-apa. Samunyaan anak buah kapal bagawi raji nang dituhai ulih juragaan.
Kada lawas kapal si Parabayaksa nitu parak sudah lawan palabuhan karajaan Majapahit. Raja Majapahit nang mandangar kapal datang tumatan di Nagara Dipa, lakas mamarintahakan manyiapakan sambutan. Inya tahu di kapal nitu musti ada Lambung Mangkurat nang diundangnya.
Kadatangan Lambung Mangkurat ka karajaan Majapahit nitu tarus dipapak ulih Gajah Mada di kapal si Parabayaksa, balalu dibawa ka istana karajaan Majapahit.
Raja Majapahit duduk di Sitiluhur nang dikulilingi ulih pangapitnya. Lambung Mangkuratduduk di Rancak Suci, nang pangawalnya duduk di balakang. Raja Majapahit suka bangat manyambut Lambung Mangkurat. Inya mangiau “paman” lawan Lambung Mangkurat. Wayah nitu Lambung Mangkurat bujur-bujur kaliatan gagah nang raja Majapahit nitu mahurmatinya.
Lambung Mangkurat manyampaiakan salam kahurmatan raja Nagara Dipa Pangeran Suryanata lawan raja Majapahit, balalu manyampaiakan tanda mata talu bigi intan lawan raja Majapahit nitu. Raja Majapahit suka bangat inya manarima tanda mata intan.
Wayah nitu, sudah pitung hari, Lambung Mangkurat, bubuhan hulubalang lawan pangawal kaamanan Singabana jadi tamu kahurmatan di karajaan Majapahit. Bubuhannya maliat-liat isi karajaan, istananya, maliat kaahlian prajurit-prajurit, lawan pasukan kaamanan karajaan nitu. Bubuhannya jua dibari makan nginum karajaan.
Limbah sudah puas di karajaan Majapahit nitu, Lambung Mangkurat sabarataan handak bulikan ka banua Nagara Dipa. Wayah malamnya, ulih raja Majapahit diadakan tuntunan kasanian gasan mahibur Lambung Mangkurat lawan bubuhannya nang cagar bulikan ka banua asal di subarang.
Isuk baisukannya Lambung Mangkurat dibari tanda mata ulih raja Majapahit saikung kuda putih nang tinggi lawan ganal-ganalnya. Kuda nitu gagah, bigas, ujar tu tamasuk kuda nang paling harat di karajaan Majapahit.
Lambung Mangkurat manarima kuda nitu suka bangat, balalu tarus dibawa kaluar halaman istana. Wayah hnadak dibawa ampah ka kapal si Parabayaksa, hulubalang Tumanggung Tatahjiwa baucap:
“Bapa Lambung Mangkurat! Kaya apa amun kuda pambarian raja naya ditunggang dahulu, nyaman kaliatan kaharatannya”.
“Bujur jua”, dalam hati Lambung Mangkurat.
Limbah Lambung Mangkurat duduk di atas balakang kuda putih nitu, sakalinya kuda pambarian raja nitu rabah, inya lumpuh, sampai talipat batisnya ka tanah.
Lambung Mangkurat, hulubalang Arya Magatsari,Tuamnggung Tatahjiwa lawan bubuhan Singabana takajut, hiran bangat limbah maliat kuda nitu lumpuh. Padahal dipadahakan kuda nitu harat, gagah lawan bigas-bigasnya.
“Kita hadangi satumat. Kaina ditunggang pulang”, ujar hulubalang Arya Magatsari. Bujur jua, limbah dihadangi satumat, Lambung Mangkurat manunggang pulang kuda nitu. Kada dikira, kuda nang ganal nitu lumpuh pulang. Bubuhannya barataan nang ada disitu hiran pulang maliat kuda nitu lumpuh.
“Amun kaya nitu kuda naya dicuba ditunggang talu kali, tagal kita hadangi talawasi pada nang tadahulu”, ujar hulubaalang tumanggung tatahjiwa.
Bubuhannya banarai dahulu sambil mamusut-mamusut gulu lawan kapal kuda nitu. Kada lawas limbah nitu Lambung Mangkurat balalu baluncat naik ka atas blakang kuda. Babayanya Lambung Mangkurat duduk di atas balakang kuda nitu, inya lumpuh pulang. Sakali naya kaampat batis kuda nitu talipat sampai ka tanah. Lambung Mangkurat lawan bubuhannya nang disitu jadi hiran bangat. Padahal ujar habar kuda nitu harat bangat.
Lambung Mangkurat jadi asa kasina limbah maliat kuda nitu lumpuh. Apalagi limbah ditariknya tali hidung kuda nitu, kuda nitu kada kawa bajalan.
“Kaya apa pikiran?”, ujar hulubalang Arya Magatsari.
“Amun kuda naya kita bulikakan ka karajaan Majapahit kaya apa?”, ujar saikung angguta Singabana.
“Jangan! Nitu artinya kita kada mahurmati pambarian raja Majapahit”, ujar nang saikung angguta Singabana.
“Jangan! Nitu artinya kita kada mahurmati pambarian raja Majapahit”, ujar hulubalang Tumanggung Tatahjiwa.

“Bujur!”, ujar Lambung Mangkurat manyahuti.
“Nang kaya apa haja jadinya, kuda naya musti kita bawa bulik ka banua kita nGara Dipa. Sabab kuda naya pambarian kahurmatan”, ujar Lambung Mangkurat manambahi.
Barataan nang ada di situ pina bingung. Tagal Lambung Mangkurat haja nang kada bingung. Inya balalu duduk di tanah mahadapi matahari hidup. Kadua balah batisnya basila. Kadua balah tangannya diandaknya di atas paha. Balalu inya mamicingakan matanya sambil mambaca mantra. Lawas inya baparigal kaya nitu, balalu inya badiri, matanya nyarak, kaliatan pina batambah bigas, batambah sumangat nang luar biasa. Lambung Mangkurat sakalinya mangaluarakan kasaktiannya. Dasar bujur-bujur inya urang nang sakti. Limbah nitu, kada kaya paribasa, kuda nitu diangkatnya, dikapitnya di bawah katiaknya tangan nang subalah kanan.
Awak Lambung Mangkurat nang tinggi lawan ganal-ganalnya nitu pina hampul haja maangkat kuda putih nitu, tarus dibawahnya masuk ka dalam kapal si Parabayaksa.
Hulubalang lawan sabarataan nang ada disitu jadi tacaragal maliat kaharatan Lambung Mangkurat nang maangkat kuda pambarian raja Majapahit nitu. Balum biasa bubuhannya maliat Lambung Mangkurat nang hingkat maangkat kuda macam nitu.
Kada lawas limbah nitu, kapal si Parabayaksa balalu balayar mambawa Lambung Mangkurat, hulubalang, bubuhan pangawal kaamanan lawan sabarataan anak buah. Kapal ganal nitu sing lajuan manuju ampah karajaan Nagara Dipa.
Bubuhan kulawarga karajaan Nagara Dipa nang ada di banua, suka bangat manyambut kadatangan kapal si Parabayaksa nang dipimpin ulih Lambung Mangkurat nitu. Apalagi limbah mandangar ada kuda gagah pambarian raja Majapahit nang diangkat ulih Lambung Mangkurat.
Kuda pambarian raja, kuda putih nang gagah, tinggi lawan ganal-ganalnya nitu diharagu di karajaan Nagara Dipa. Limbah nitu, kada lawas, balalu diadaakan kasanian kuda gipang Banjar nang kudanya diigalakan, dikapit bawah katiak sampai wayah hini.

Jumat, 10 Februari 2012

Asal Usul Kota Banjarmasin | Dongeng Anak dan Cerita Rakyat

Pada zaman dahulu berdirilah sebuah kerajaan bernama Nagara Daha. Kerajaan itu didirikan Putri Kalungsu bersama putranya, Raden Sari Kaburangan alias Sekar Sungsang yang bergelar Panji Agung Maharaja Sari Kaburangan. Konon, Sekar Sungsang seorang penganut Syiwa. la mendirikan candi dan lingga terbesar di Kalimantan Selatan. Candi yang didirikan itu bernama Candi Laras. Pengganti Sekar Sungsang adalah Maharaja Sukarama. Pada masa pemerintahannya, pergolakan berlangsung terus-menerus. Walaupun Maharaja Sukarama mengamanatkan agar cucunya, Pangeran Samudera, kelak menggantikan tahta, Pangeran Mangkubumi-lah yang naik takhta.
Kerajaan tidak hentinya mengalami kekacauan karena perebutan kekuasaan. Konon, siapa pun menduduki takhta akan merasa tidak aman dari rongrongan. Pangeran Mangkubumi akhirnya terbunuh dalam suatu usaha perebutan kekuasaan. Sejak itu, Pangeran Tumenggung menjadi penguasa kerajaan.
Pewaris kerajaan yang sah, Pangeran Samudera, pasti tidak aman jika tetap tinggal dalam Lingkungan kerajaan. Atas bantuan patih Kerajaan Nagara Daha, Pangeran Samudera melarikan diri. Ia menyamar dan hidup di daerah sepi di sekitar muara Sungai Barito. Dari Muara Bahan, bandar utama Nagara Daha, mengikuti aliran sungai hingga ke muara Sungai Barito, terdapat kampung-kampung yang berbanjar-banjar atau berderet-deret melintasi tepi-tepi sungai. Kampung-kampung itu adalah Balandean, Sarapat, Muhur, Tamban, Kuin, Balitung, dan Banjar.
Di antara kampung-kampung itu, Banjar-lah yang paling bagus letaknya. Kampung Banjar dibentuk oleh lima aliran sungai yang muaranya bertemu di Sungai Kuin.
Karena letaknya yang bagus, kampung Banjar kemudian berkembang menjadi bandar, kota perdagangan yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang dari berbagai negeri. Bandar itu di bawah kekuasaan seorang patih yang biasa disebut Patih Masih. Bandar itu juga dikenal dengan nama Bandar Masih.
Patih Masih mengetahui bahwa Pangeran Samudera, pemegang hak atas Nagara Daha yang sah, ada di wilayahnya. Kemudian, ia mengajak Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, dan Patih Kuin untuk berunding. Mereka bersepakat mencari Pangeran Samudera di tempat persembunyiannya untuk dinobatkan menjadi raja, memenuhi wasiat Maharaja Sukarama.
Dengan diangkatnya Pangeran Samudera menjadi raja dan Bandar Masih sebagai pusat kerajaan sekaligus bandar perdagangan, semakin terdesaklah kedudukan Pangeran Tumenggung. Apalagi para patih tidak mengakuinya lagi sebagai raja yang sah. Mereka pun tidak rela menyerahkan upeti kepada Pangeran Tumenggung di Nagara Daha.
Pangeran Tumenggung tidak tinggal diam menghadapi keadaan itu. Tentara dan armada diturunkannya ke Sungai Barito sehingga terjadilah pertempuran besar-besaran. Peperangan berlanjut terus, belum ada kepastian pihak mana yang menang. Patih menyarankan kepada Pangeran Samudera agar minta bantuan ke Demak. Konon menurut Patih Masih, saat itu Demak menjadi penakluk kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa dan menjadi kerajaan terkuat setelah Majapahit.
Pangeran Samudera pun mengirim Patih Balit ke Demak. Demak setuju nnemberikan bantuan, asalkan Pangeran Samudera setuju dengan syarat yang mereka ajukan, yaitu mau memeluk agama Islam. Pangeran Samudera bersedia menerima syarat itu. Kemudian, sebuah armada besar pun pergi menyerang pusat Kerajaan Nagara Daha. Armada besar itu terdiri atas tentara Demak dan sekutunya dari seluruh Kalimantan, yang membantu Pangeran Samudera dan para patih pendukungnya. Kontak senjata pertama terjadi di Sangiang Gantung. Pangeran Tumenggung berhasil dipukul mundur dan bertahan di muara Sungai Amandit dan Alai. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Panji-panji Pangeran Samudera, Tatunggul Wulung Wanara Putih, semakin banyak berkibar di tempat-tempat taklukannya.
Hati Arya Terenggana, Patih Nagara Dipa, sedih melihat demikian banyak korban rakyat jelata dari kedua belah pihak. Ia mengusulkan kepada Pangeran Tumenggung suatu cara untuk mempercepat selesainya peperangan, yakni melalui perang tanding atau duel antara kedua raja yang bertikai. Cara itu diusulkan untuk menghindari semakin banyaknya korban di kedua belah pihak. Pihak yang kalah harus mengakui kedaulatan pihak yang menang. Usul Arya Terenggana ini diterima kedua belah pihak.
Pangeran Tumenggung dan Pangeran Samudera naik sebuah perahu yang disebut talangkasan. Perahu-perahu itu dikemudikan oleh panglima kedua, belah pihak. Kedua pangeran itu memakai pakaian perang serta membawa parang, sumpitan, keris, dan perisai atau telabang.
Pangeran Samudera Asal Mula Nama Kota BanjarmasinMereka saling berhadapan di Sungai Parit Basar. Pangeran Tumenggung dengan nafsu angkaranya ingin membunuh Pangeran Samudera. Sebaliknya, Pangeran Samudera tidak tega berkelahi melawan pamannya. Pangeran Samudera mempersilakan pamannya untuk membunuhnya. Ia rela mati di tangan orang tua yang pada dasarnya tetap diakui sebagai pamannya.
Akhirnya, luluh juga hati Pangeran Tumenggung. Kesadarannya muncul. la mampu menatap Pangeran Samudera bukan sebagai musuh, tetapi sebagai keponakannya yang di dalam tubuhnya mengalir darahnya sendiri. Pangeran Tumenggung melemparkan senjatanya. Kemudian, Pangeran Samudera dipeluk. Mereka bertangis-tangisan.
Dengan hati tulus, Pangeran Tumenggung menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran Samudera. Artinya, Nagara Daha ada di tangan Pangeran Samudera. Akan tetapi, Pangeran Samudera bertekad menjadikan Bandar Masih atau Banjar Masih sebagai pusat pemerintahan sebab bandar itu lebih dekat dengan muara Sungai Barito yang telah berkembang menjadi kota perdagangan. Tidak hanya itu, rakyat Nagara Daha pun dibawa ke Bandar Masih atau Banjar Masih. Pangeran Tumenggung diberi daerah kekuasaan di Batang Alai dengan seribu orang penduduk sebagai rakyatnya. Nagara Daha pun menjadi daerah kosong.
Sebagai seorang raja yang beragama Islam, Pangeran Samudera mengubah namanya menjadi Sultan Suriansyah. Hari kemenangan Pangeran Samudera atau Sultan Suriansyah, 24 September 1526, dijadikan hari jadi kota Banjar Masih atau Bandar Masih.
Karena setiap kemarau landang (panjang) air menjadi masin (asin), lama-kelamaan nama Bandar Masih atau Banjar Masih menjadi Banjarmasin.
Akhirnya, Sultan Suriansyah pun meninggal. Makamnya sampai sekarang terpelihara dengan baik dan ramai dikunjungi orang. Letaknya di Kuin Utara, di pinggir Sungai Kuin, Kecamatan Banjar Utara, Kota Madya Daerah Tingkat II Banjarmasin.
Setiap tanggal 24 September Wali Kota Madya Banjarmasin dan para pejabat berziarah ke makam itu untuk memperingati kemenangan Sultan Suriansyah atas Pangeran Tumenggung. Sultan Suriansyah adalah sultan atau raja Banjar pertama yang beragama Islam.

Kisah Naga di Sungai Kandangan Hulu Sungai Selatan (Kalimantan Selatan)




kisah ini berasal dari  masyarakat kota Kandangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan Provinsi Kalimantan Selatan, Masyarakat disana rata-rata hampir mengetahui kisah keberadaan sang Naga penghuni sungai Kandangan. Penulis sendiri lahir di desa Simpur kota Kandangan, sehingga sedikit banyak mengetahui kisah tersebut, dan ingin berbagi cerita kepada teman-teman semua untuk lebih mengenal kisah daerah langsung dari Kota Kandangan.

Konon di sungai Kandangan , dulu ada sebuah jembatan gantung dan dibawahnya dipercaya ada sebuah liang Naga, sehingga tidak ada satupun tiang jembatan yang bisa dibangun sampai sekarang, dan konon juga air sungai tersebut tidak pernah kering.

Kisah ini bermula, ada sepasang suami istri yang ketika itu mencari ikan di sungai dengan cara tradisional yaitu “tangguk”, mereka menangguk ikan-ikan tersebut untuk keperluan hidup sehari-hari.

Namun suatu ketika, mereka mendapatkan dua butir telur yang sangat besar, mereka kebingungan karena itu jelas bukan telur yang wajar. Mereka membuang telur itu dan pindah ketempat lain untuk encari ikan, tapi apa yang didapat? Ternyata itu dua butir telur yang serupa, sungguh aneh tapi karena bujukan/rayuan sang istri sebab hari itu mereka tidak mendapatkan ikan, maka telur tersebut akhirnya dibawa pulang kerumah, dan berniat untuk memakannya saat malam hari, tanpa memberitahukan anak mereka.

Saat malam hari, sepasang suami istri tersebut merebus dua butir telur itu dan memakannya tanpa fikir panjang, tiba-tiba setelah memakan telur itu, seluruh tubuh mereka tumbuh sisik dan membesar sehingga rumah mereka tidak sanggup menahan pertumbuhan tubuh mereka, kemudian pintu depan rumah mereka dihancurkan untuk keluar dan meloloskan diri, dengan tali blaran mereka langsung pergi kesungai, dan pada saat itu banyak masyarakat sekitar mengetahui peristiwa itu termasuk anak mereka.

Mereka menjadi siluman jadi-jadian, namun disungai tersebut masih ada satu kehidupan yaitu naga asli yang menghuni, akhirnya naga tersebut terjadi perselisihan antara naga jadi-jadian, memperebutkan alam mereka masing-masing, naga asli menantang duel apabila kalah maka akan pergi jauh meninggalkan sungai tersebut untuk selamanya.

Setelah itu naga sepasang suami istri tersebut, meminta anaknya untuk dibuatkan tanduk seperti naga asli, dan berpesan kepada anaknya kalau dalam pertarungan seandainya darah berwarna biru yang keluar itu berarti naga yang asli kalah tapi apabila darah tersebut berwarna merah berarti orang tuanya kalah, akhirnya waktu duel pun terjadi, dan darah yang keluar ternyata berwarna merah, maka dapat diketahui pemenangnya adalah naga yang asli, maka sesuai perjanjian naga yang kalah akan pergi jauh meninggalkan tempat itu.

Peristiwa tersebut menjadi kisah dari dulu sampai sekarang, bahkan keturunan-keturunan dari anak mereka sampai saat ini masih hidup dan konon katanya salah satu dari keturunannya pernah didatangi oleh naga tersebut namun dalam wujud lain yang sangat kecil pada malam hari. Demikianlah kisah ini, untuk membuktikannya Allahualam bissawab, hanya Allah yang Maha Tahu.

Kamis, 02 Februari 2012