Kabupaten Hulu Sungai Selatan berjarak sekitar 145
kilometer dari Banjarmasin dan kota Kandangan sebagai ibukotanya. Di
wilayah ini, tepatnya di kecamatan Simpur, terdapat sebuah desa yang
dinamakan desa Pantai Ulin. Entah kenapa dinamakan dengan nama tersebut,
menurut hemat saya mungkin dulu daerah ini memang awalnya pantai, atau
kata “pantai” diartikan sebagai daerah yang kaya akan sesuatu (daerah
yang kaya akan ulin atau kayu besi) karena ada juga daerah di Hulu
Sungai yang diberi nama pantai, seperti Pantai Hambawang.
Di desa ini berkembang sebuah cerita yang
mengisahkan kesaktian tokoh yang mereka percayai masih hidup di alam
lain yaitu Datu Ulin. Datu Ulin dipercaya sering muncul pada saat
upacara syukuran yang di adakan di desa setiap setelah selesai panen.
Upacara syukuran ini masih diadakan sampai sekarang. Menurut penuturan
Camat Simpur dan beberapa warga, setiap syukuran dilaksanakan,
pesertanya selalu membludak, padahal warga yang diundang hanya berasal
dari desa-desa yang bersebelahan dengan desa Pantai Ulin, yang apabila
dihitung-hitung jumlah tidak sampai sepuluh ribu orang, akan tetapi yang
hadir malah lebih dari itu. Sisa peserta yang sedemikian banyaknya
tersebut dipercaya berasal dari alam gaib, alias mahluk halus.
Menurut cerita, dahulu ada sebuah pohon ulin
(kayu besi) yang tumbuh dengan subur, lebat, dan batangnya sangat besar.
Di pohon inilah kemudian hinggap seekor burung yang sangat besar.
Karena pohon tersebut sangat besar, burung ini pun sangat senang berada
di sana, mudah mencari makan dan dapat mengawasi wilayah yang ada di
sekitarnya. Di sini lah dimulainya sebuah bencana besar. Burung tersebut
mulai memakan manusia yang ada di sekitar desa, lambat tapi pasti.
Selain itu, kepakan sayap si burung menimbulkan angin deras yang dapat
menerbangkan pohon, rumah, dan apa saja yang ada di sekitarnya. Warga
desa menjadi takut dibuatnya. Setelah menjalani sebuah pembicaraan,
mereka setuju untuk bergotong royong menebang pohon ulin karena hanya
itu jalan satu-satunya agar burung ganas dapat diusir.
Waktu yang telah disepakati untuk menebang
pohon tersebut pun tiba. Orang-orang mulai mengeluarkan parang mereka
dan berusaha menebang pohon ulin. Tapi apalah daya, karena sudah terlalu
tua, pohon tadi sangat sulit untuk ditebang, jangan kan untuk memotong,
melukai batangnya pun sangat sulit. Setelah beberapa lama, parang dan
segala alat pemotong pun habis, karena patah dan sudah tidak dapat
digunakan lagi.
Mereka bertambah gusar, semuanya terdiam,
memikirkan cara bagaimana memotong pohon tersebut. Salah seorang warga
tiba-tiba mendengar burung tinjau (murai) yang berbunyi “kuit cau, kuit
cau”. Warga tersebut tiba-tiba mendapat ilham. Ia mengartikan suara
burung tersebut dengan “kuit (congkel) dengan pisau”. Ia pun pulang dan
mengambil pisau kecilnya di rumah. Setelah kembali, para warga desa
menertawakannya, mengapa tidak, jangankan pisau, bahkan parang yang
sangat besar saja tidak dapat berbuat banyak. Ia tidak menghiraukan
ocehan mereka, ia tetap melakukan apa yang dipercayanya untuk dapat
menumbangkan pohon tersebut.
Ternyata apa yang diyakininya itu terbukti!
Dengan sekali congkel di bagian akar dengan menggunakan pisau tadi,
pohon ulin yang besar dapat tumbang. Warga desa terkejut tidak percaya
dengan apa yang mereka saksikan. Mereka menghampiri dan menyanjung.
Warga yang berhasil menumbangkan pohon ulin tersebut kemudian diberi
gelar sebagai Datu Ulin.
Pohon ulin tersebut dipercaya oleh masyarakat
Pantai Ulin tumbang sampai ke Marabahan. “Marabahan tu bakas karabahan
pohon ulin, makanya dingarani urang Marabahan” kata beberapa orang tua
di sana.
Cerita tadi mungkin hanya sebuah dongeng, tapi
masyarakat di desa Pantai Ulin mempercayainya sebagai kenyataan. Salah
satu tokoh pemuka bahkan memiliki bukti berupa beberapa bekas potongan
parang yang patah akibat pohon ulin tersebut dan sebuah pisau yang
merupakan alat yang digunakan untuk mencongkel pohon ulin tadi. Kata
beberapa orang warga,
Saya dukung pelestarian khazanah cerita rakyat kandangan, hulu sungai selatan, kalimantan selatan seperti Maharaja sukarama dan raja-raja dari kerajaan negara daha, perebutan tahta pangeran samudera dengan pangeran tumenggung, legenda datuk panglima amandit, datung suhit dan datu makandang, datu ramanggala di ida manggala, datu rampai dan datu parang di baru sungai raya, datu ulin dan asal mula kampung ulin, datu sangka di papagaran, datu putih dan datu karamuji di banyu barau, legenda batu laki dan batu bini di padang batung, legenda gunung batu bangkai loksado, datu suriang pati di gambah dalam, legenda datu ayuh/sindayuhan dan datu intingan/bambang basiwara di loksado, kisah datu ning bulang di hantarukung, datu durabu di kalumpang, datu baritu taun dan datu patinggi di telaga langsat, legenda batu manggu masak/mandin tangkaramin di malinau, kisah telaga bidadari datu awang sukma di hamalau, kisah gunung kasiangan di simpur, kisah datu kandangan dan datu kartamina, datu hamawang dan sejarah mesjid quba, tumenggung antaludin dan tumenggung mat lima mempertahankan benteng gunung madang, panglima bukhari dan perang amuk hantarukung di simpur, datu naga ningkurungan luk sinaga di lukloa, datu singa karsa dan datu ali ahmad di pandai, datu buasan dan datu singa jaya di hampa raya, datu haji muhammad rais di bamban, datu janggar di malutu, datu bagut di hariang, sejarah mesjid ba angkat di wasah, dakwah penyebaran agama islam datu taniran di angkinang, datu balimau di kalumpang, datu daha, datu kubah dingin, habib husin di tengah pasar kandangan, habib ibrahim nagara dan habib abu bakar lumpangi, kubur enam orang pahlawan di ta’al, makam keramat bagandi, kuburan tumpang talu di parincahan, pertempuran garis demarkasi dan kubur Brigjen H.M. Yusi di karang jawa, pahlawan wanita aluh idut di tinggiran, panglima dambung di padang batung, gerombolan ibnu hajar, sampai cerita tentang perang kemerdekaan Divisi IV ALRI yang dipimpin Brigjen H. Hasan Basry dan pembacaan teks proklamasinya di Kandangan. Semuanya adalah salah satu aset budaya dan sejarah bagi Kalimantan Selatan.
BalasHapus